MUHAMMADIYAH.OR.ID, KALTIM – Menurut ekonom senior Institute for Development in Economy and Finance (INDEF) Muhammad Fadhil Hasan, globalisasi ekonomi sejatinya telah terjadi sejak masa lalu di mana berbagai bangsa berinteraksi untuk melakukan perdagangan.
“Globalisasi intinya dalam perspektif ekonomi adalah fenomena perekonomian antara bangsa itu saling terhubung, terkoneksi dan terintegrasi,” jelasnya. Selat Malaka dan Jalur Sutera adalah sekian jejak dari bukti itu.
Karenanya, dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah bertajuk ‘Menjaga Kedaulatan NKRI’, Kamis (21/4), Fadhil menilai bangsa Indonesia tidak perlu takut secara berlebihan terhadap globalisasi ekonomi.
“Sering kita melihat bahwa istilah kedaulatan itu sering diperhadapkan dengan globalisasi. Jadi, ada semacam anggapan bahwa globalisasi atau kekuatan globalisasi itu membahayakan atau mengurangi kemandirian atau kedaulatan negara dalam merumuskan kebijakan ekonominya,” ungkap Fadhil.
Arus pro dan kontra juga terus bermunculan. Negara yang tidak puas dengan globalisasi, umumnya berubah corak menjadi proteksionis seperti Amerika Serikat pada masa Presiden Donald Trump.
Kalangan yang mengkritik globalisasi umumnya berpendapat bahwa globalisasi memunculkan kelompok marginal. Ekonom Amerika, Joseph Stiglitz bahkan mengkritik cara-cara globalisasi.
“Bekerjanya lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia, WTO yang memberikan resep untuk reformasi di negara berkembang dan eks Komunis sebagai kebijakan yang seragam tanpa memperhatikan karakteristik sosial-potitik negara itu. Akibatnya tidak optimal, bahkan merugikan negara-negara itu,” jelas Fadhil.
Meskipun kritik terhadap globalisasi ekonomi tak kunjung berhenti, Fadhil mengungkapkan bahwa banyak negara yang juga mendulang manfaat dari globalisasi ekonomi.
China dalam hal ini setelah bergabung dengan WTO berhasil mengentas kemiskinan ratusan juga orang. Begitu pula India. Hal inilah yang dia harapkan turut menjadi perhatian Indonesia agar benar-benar matang dalam menentukan sikap.
“Yang jelas globalisasi tidak bisa kita hentikan. Memang, pandemi mengakibatkan keinginan banyak negara ingin mandiri terutama dari jasa-jasa dan produk kesehatan,” pungkasnya. (afn)