MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Pekerjaan Rumah (PR) terbesar umat Islam Indonesia menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir adalah melahirkan para negarawan yang mampu mewujudkan nilai dan cita-cita para pendiri bangsa dalam kehidupan bersama.
“Dalam konteks kebangsaan tentu agenda terpenting adalah mewujudkan nilai-nilai dan cita-cita kemerdekaan yang itu sangat mendasar, sangat fundamental,” kata Haedar dalam iftitah pengajian bulanan PP Muhammadiyah, Jumat (13/8).
Semangat hijrah secara transformatif itu menurut Haedar perlu diagendakan sebab dirinya melihat Indonesia hari-hari ini mengalami krisis kenegarawanan baik secara personal maupun secara institusi/lembaga.
“Kita juga harus menjadi kekuatan yang ada di depan dalam mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sebagaimana cita-cita kemerdekaan tokoh dan pendiri bangsa yang itu memerlukan jiwa kenegarawanan yang melampaui yang sekarang justru makin miskin baik secara personal maupun dalam institusi,” kritiknya.
Di sisi lain, Haedar juga melakukan otokritik sebab umat muslim yang seharusnya hadir menjadi penengah melahirkan negarawan justru ikut terperosok dalam dua mental yang berbahaya yakni sikap apologetik dan mental terkepung (seizure mentality).
“Jadi ketika gagal, ketika salah, ketika ada musibah, ketika ada masalah selalu yang disalahkan adalah pihak lain. Jarang introspeksi bahwa jangan-jangan kita memang kalau toh korban dari konspirasi, korban dari kesewenang-wenangan, kita sendiri juga masih menjadi maf’ul bih (objek) dalam situasi seperti itu,” kritik Haedar.
Pada masalah ini, Muhammadiyah menurutnya perlu terus mengusung jiwa kenegarawanan dan jiwa keIslaman dalam satu nafas. Apalagi Muhammadiyah sendiri menurutnya juga telah memiliki konsep Indonesia Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah.
“Maka kita harus hijrah dalam membangun kehidupan dengan semangat wa kadzalika ja’alnahum ummatan wasathan li takuunu syuhada’a ‘alan-nas (Al-Baqarah ayat 143). Itulah modal kita untuk hijrah dan untuk Indonesia,” jelas Haedar.
“Tentu transformasi itu diwujudkan dalam menghadirkan moderasi Islam yang berkemajuan. Di satu pihak kita tegakkan perdamaian, persatuan, toleransi, tetapi juga nilai syuhada ‘ala nas-nya dalam dimensi memajukan kehidupan,” imbuhnya.
“Kita bangun masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berdasar pada ilmu, yang menghargai ilmu, membaca, menghargai al-qalam (literasi), dengan segala rangkaiannya kemudian juga kita harus menjadi pelopor untuk memecahkan masalah bukan justru menjadi bagian dari masalah,” tutupnya.