MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Pemerintah harus mulai gencar menggodok program kerja yang mendorong pengurangan emisi karbon. Pasalnya, hasil dari karbon dalam bentuk dioksida (CO2), monoksida (CO), dan gas metan (CH4) ini dibuang ke udara.
Banyaknya emisi karbon yang dibuang ke udara ditenggarai menjadi penyebab dari adanya perubahan iklim. Alhasil, rata-rata suhu bumi mengalami kenaikan sehingga es di kutub utara dan selatan akan mencair. Jika demikian, garis pantai juga berubah dan mengancam beberapa pulau karena bisa tenggelam. Menurut Arcandra Tahar, karbon banyak dihasilkan dari kegiatan manusia, seperti migas, pertambangan mineral, termasuk pertanian dan peternakan.
Maka, untuk mengurangi agar karbon tidak dibuang ke udara, Arcandra menyarankan agar mempercepat penghapusan batu bara, mengurangi deforestasi, mempercepat peralihan ke kendaraan listrik, mendorong investasi dalam energi terbarukan, serta menggunakan gas alam dalam masa transisi.
Saat ini, Indonesia memang masih ketergantungan minyak dan batu bara. Padahal, beberapa negara Eropa mulai memanfaatkan gas alam sebagai pengganti dari energi fosil. Gas alam termasuk salah satu produk energi fosil yang terbukti bersih, ramah lingkungan dan efisien, diharapkan memiliki peran strategis dalam proses transisi menuju zero net emission.
“Kalau kita masih perlu bahan bakar dan memerlukan energi dari fosil, maka gas alam menjadi yang harus kita utamakan di atas batu bara dan BBM agar bumi yang kita diami bisa lebih sehat,” ujar Arcandra dalam Seminar Pra Muktamar PP Muhammadiyah pada Sabtu (09/04).
Akan tetapi, pengembangan energi terbarukan di Indonesia justru menghadapi berbagai tantangan. Beberapa di antaranya menurut Alcandra seperti prospek energi dunia, pembiayaan, izin, akuisisi tanah, Smar grit, serta insentif pajak dan fiskal.
“Begitu susahahnya mendapatkan izin-izin di Indonesia, sampai harus menghadap RT RW dan sebagainya,” keluh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2016-2019 itu.