MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Laporan Indeks Demokrasi Dunia terbaru oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat (flawed democracy). Artinya, Indonesia memiliki kebebasan pers yang rendah, budaya politik yang antikritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.
Meskipun demikian, Indonesia menduduki peringkat ke-52 dunia dengan skor 6,71 atau naik 12 peringkat dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-64 dunia.
Dalam webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Rabu (9/3) Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebut setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan indeks demokrasi Indonesia lemah. Antara lain apatisme masyarakat dan partisipasi publik yang rendah.
Pada partisipasi publik, hal ini menurutnya nampak pada seringnya terjadi penyusunan Undang-Undang dan kebijakan publik yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
“Beberapa UU disusun seperti sembunyi-sembunyi atau memenuhi persyaratan tapi hanya formalitas, sedangkan esensi partisipasi publik tidak dilakukan dengan sebaik-baiknya. Uji publik tidak sepenuhnya dipenuhi. Padahal itu adalah faktor kita memiliki Undang-Undang yang baik,” jelasnya.
Karena itu, dirinya tidak heran jika terjadi semacam peyorasi terhadap demokrasi. Bahkan, Mu’ti menyebut plutokrasi (pemerintahan atas dasar modal) dan kleptokrasi (penyalahgunaan kekuasaan) masih terjadi.
“Ini kan kita melihat bagaimana korupsi di Indonesia tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan yang signifikan sebagai bagian dari ciri negara yang demokrasinya bagus. Karena teorinya kalau demokrasi itu disertai dengan nilai maka yang terjadi adalah meritokrasi (pemerintahan berdasarkan keahlian), juga clean government dan good governance. Tapi ternyata itu kan belum jadi realitas di negara kita ini,” ungkap Mu’ti.
Lahirnya Tipokrasi
Dari realitas politik di Indonesia berkaitan dengan indeks demokrasi yang lemah, Abdul Mu’ti lalu membuat istilah sendiri, yaitu Timokrasi dan Typokrasi.
“Belakangan juga terjadi timokrasi negara di mana para pemimpinnya suka dipuji-puji, suka disanjung, banyak pemimpin yang narsis menyebut keberhasilannya sendiri dan seterusnya itu,” ungkapnya. Selain itu, juga terjadi Typokrasi atau pemerintahan dengan kebijakan yang tidak konsisten.
“Yang sekarang terjadi itu tipokrasi. Kalau ngetik salah-salah. Gejala pemimpin itu suka typo, saya maunya begini tapi kemudian diralat,” kritiknya. Akibat dari inkonsistensi ini, kata Mu’ti terjadi kehilangan trust (kepercayaan) publik kepada para pemimpin politik. Dia pun berharap gejala ini segera berhenti.
“Makanya politik yang sebenarnya punya arti yang sangat mulia itu, politik itu artinya keadaban, kemuliaan, keluhuran dan kaitan-kaitannya dengan penyeleggaraan negara ya bagaimana meraih kejayaan. Tapi yang terjadi kan adalah peyorasi, politik itu sudah pol tapi masih bisa diotak atik dengan cara politik itu,” pungkas Mu’ti. (afn)