MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) selalu disambut dengan gegap gempita. Tiap tanggal 17 Agustus juga digelar upacara bendera guna memperingati peristiwa bersejarah tersebut. Lantas, bagaimana hukum hormat bendera dalam Islam?
Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Qaem Aulasyahied mengatakan bahwa Majelis Tarjih pernah menjawab pertanyaan salah satu warga soal hukum menghormat dan mencium bendera. Dalam fatwa tersebut diterangkan terlebih dahulu secara umum. Di dalam agama ada aspek-aspek yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlaq. Masing-masing mempunyai dimensi peran, meskipun secara substansial merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.
“Memang, dalam Bidang Aqidah Muhammadiyah berpandangan bahwa hanya Allah satu-satunya yang harus diyakini sebagai Zat yang Esa dan dengan demikian, Zat yang patut disembahi. Namun dalam soal menghormati bendera yang selama ini menjadi wujud penghormatan dan kecintaan terhadap persatuan, Muhammadiyah melihatnya sebagai urusan muamalah,” ujar Qaem kepada tim redaksi muhammadiyah.or.id pada Rabu (18/08).
Qaem menjelaskan bahwa jika mempunyai misi untuk memperkokoh persatuan dan menghindari dari perpecahan, perilaku ini bisa bernilai ibadah yang dimotivasi oleh akhlak yang mendorong kepada perbuatan baik dan terpuji. Bendera Merah Putih salah satu piranti persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.
“Perbuatan “menghormati” sesuatu, bisa dilakukan dengan berbagai cara, misalnya, mengangkat tangan, melambaikan tangan, berdiri, menundukkan badan atau kepala, mencium seperti mencium Hajar Aswad di dalam Thawaf), misalnya, dan lain-lain,” tutur Qaem.
Di dalam peristiwa mencium Hajar Aswad atau cukup dengan melambaikan tangan, merupakan perbuatan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam rangkaian ibadah tawaf. Sedangkan menghormati bendera, kata Qaem, merupakan perbuatan muamalah yang diatur oleh ulul amri (penguasa) dalam peristiwa-peristiwa tertentu.
Sama seperti mencium Hajar Aswad yang dibolehkan, menghormati bendera pun demikian. Hal ini karena keduanya dilakukan sebagai bentuk penghormatan. Namun demikian, terang Qaem, tentu akan berbeda jika dilakukan dengan niat menyembah atau menuhankan, yang akan menjadikan tindakan itu dilarang sebab tidak lagi dikategorikan sebagai muamalah, melainkan akidah-ibadah.
“Di sinilah pentingnya meluruskan niat dalam setiap perbuatan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, mana yang akidah, ibadah dan mu’amalah dan juga tidak bertentangan dengan prinsip syariah secara umum. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah: ‘setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya’,” terang dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan ini.
Sepanjang niatnya semata-mata menghormati bendera sebagai satu piranti persatuan dan kesatuan bangsa, ungkap Qaem, pararel dengan firman Allah kepada Malaikat untuk bersujud kepada Adam. Qaem menerangkan bahwa sujud dalam QS. Al-Baqarah: 34 tersebut adalah menghormati Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan itu hanyalah semata-mata kepada Allah.