MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIDOARJO—Dalam urusan-urusan kebaikan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, Muhammadiyah memiliki hubungan yang kooperatif dengan pemerintah atau pemangku kebijakan. Pola hubungan tersebut telah terjalin sejak Pemerintah Hindia Belanda.
Melihat pola relasi tersebut, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Prof (Emeritus) Ahmad Jainuri mengistilahkannya dengan love hate orientations atau orientasi cinta tapi benci. Benci pada sikap Pemerintah Hindia Belanda yang sangat represif dan eksploitatif, tapi cinta budaya pendidikan, kesehatan yang dibawa Pemerintah Hindia Belanda.
“Prinsip seperti yang saya katakan tadi bahwa, Muhammadiyah intinya itu kooperatif dengan siapapun. Artinya terkait dengan nilai-nilai yang positif tadi, termasuk juga setelah kemerdekaan”. Ucapnya pada, Jumat (1/7) di acara Muktamar Talk.
Menurutnya, pola demikian menjadikan hubungan Pemerintah dengan Muhammadiyah dapat dilihat mereka itu sejawat, karena sama-sama melakukan pekerjaan dan saling melengkapi kekurangan masing-masing. Meskipun terjadi dinamika dan pasang – surut hubungan, Pemerintah dengan Muhammadiyah tidak bisa saling menegasikan.
“Kalau yang kooperatif itu memang jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan apakah itu norma agama, maupun kebijakan norma hukum, dan lain sebagainya. Tetapi ketidak puasan itu disalurkan melalui sebuah media yang sangat proporsional, apakah itu hukum atau lembaga-lembaga yang berotoritas untuk menyampaikan itu”. Sambungnya.
Dinamika hubungan yang terjadi antara Pemerintah dengan Muhammadiyah, seperti yang terjadi pada periode Kepemimpinan Muhammadiyah 2005-2010 dan 2010-2015. Menurut Prof. Jainuri, itu merupakan dinamika yang biasa dan tidak menjadikan hubungan yang antagonistik antara Pemerintah dengan Muhammadiyah.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur ini menambahkan, kooperatifnya Muhammadiyah dengan pemerintah agar amal usaha pendidikan dan kesehatan bisa berjalan lancar pada tahap selanjutnya akan berpengaruh pada usaha Muhammadiyah menghilangkan tahayul, bid’ah dan khurafat. Proses penyadaran praktek-praktek ‘klenik’ ditempuh oleh Muhammadiyah melalui pemenuhan pendidikan yang cukup.
Menurutnya, gerakan pemurnian yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari lokalitas di mana Muhammadiyah itu berdiri. Misalnya lokalitas Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa, maka pemurnian Muhammadiyah dilakukan dengan kehati-hatian.
“Di sinilah Muhammadiyah dihadapkan pada kenyataan real di masyarakat yang cara merombaknya harus hati-hati. Langkah kehati-hatian itu ditempuh melalui pemberian pendidikan,” katanya.
Hits: 76