MUHAMMADIYAH.ID, SULAWESI UTARA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir berpesan agar seluruh warga Persyarikatan memperkuat ideologi Muhammadiyah.
Pemahaman soal ideologi dianggap penting untuk menyelaraskan gerak Muhammadiyah menampilkan dan menghadirkan Islam sebagai Ad Diin Al Hadharah atau agama peradaban kepada dunia.
“Ideologi itu menjadi pengikat kita, maka disebut menjadi pengetahuan kolektif kita. Maka ada istilah organisasi itu bisa mati, tapi ideologinya tidak mati. Karena dia sistem pengetahuan kolektif yang menjadi worldview atau pandangan dunia kita yang tentu berkaitan dengan Islam dan dasarnya Islam,” pesan Haedar.
“Nah anggota, kader, dan pimpinan harus paham itu. Nanti mungkin setelah itu silahkan upgrading lagi soal ideologi,” tuturnya dalam forum Pendataan dan Pembinaan Masjid-Mushola Muhammadiyah se-Sulawesi Utara, Ahad (27/6).
Muhammadiyah menurut Haedar telah memiliki perangkat ideologi yang sangat lengkap dari cara berpikir, cara berpolitik, akidah, fikih, akhlak hingga manhaj beragama dan hidup berbangsa. Sehingga, Muhammadiyah dianggapnya tidak perlu membawa pemikiran lain ke dalam Persyarikatan.
Langkah 12 Muhammadiyah (1938), Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (1946), Kepribadian Muhammadiyah (1962), Matan dan Keyakinan Muhammadiyah (1969), Khittah Muhammadiyah (1969, 1971, 1978, 2002), Pedoman Hidup Islami (2000), Visi Karakter Bangsa (2007), Indonesia Berkemajuan (2015), Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah (2015), Dakwah Kultural (2002) bersama dokumen Muktamar lain disebutkan Haedar sebagai contoh ideologi Muhammadiyah.
Dokumen-dokumen ini, ditekankan Haedar untuk terus dipelajari, dipahami dan ditanamkan ke dalam diri warga Persyarikatan.
“Nah Muhammadiyah dan kita orang Muhammadiyah, pimpinan Muhammadiyah kalau tanpa fondasi ideologi ya nanti rapuh. Dan ideologi itu membuat kita memiliki karakter khusus yang berbeda dengan yang lain,” jelasnya.
“Bahkan bedanya Muhammadiyah dengan yang lain itu kan karena ideologi. Kalau sama itu ya namanya juga bukan ideologi tetap dengan ideologi, ke dalam bisa tetap ekslusif, keluar bisa tetap inklusif. Kan gitu lho dan masing-masing ada proporsinya. Kalau tanpa ideologi ya itu namanya kerumunan. Itu penonton bola aja ada ideologinya kan, ada hooligan dan macem-macem itu,” imbuhnya.
“Dan para pucuk pimpinan harus lebih lekat ideologisnya. Karena apa? Kita ini jadi rujukan dalam bertindak. Saya pikir kita semua (harus) begitu,” pungkas Haedar.