MUHAMMADIYAH.ID, RIAU – Menghadapi zaman baru, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammdiyah Haedar Nashir mendorong anggota Persyarikatan bersifat adaptif dan mampu menjalankan kepemimpinan transformatif yang ditandai dengan tiga unsur yakni manajemen, dinamis, dan visioner.
“Tiga kekuatan ini merupakan potensi laten yang sebaigan besar sudah menjadi potensi manifest tapi memerlukan dinamika kepemimpinan dan manajemen baru yang lebih dinamis lagi sebagaimana kami juga terus belajar mendomnamisasi kepemimpinan dan manajemen Persyarikatan kita di tengah perubahan dan tantangan,” jelas Haedar, Rabu (2/6).
Dalam Silaturahmi Syawal 1442 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Riau, Haedar lebih lanjut menjelaskan tiga unsur di atas.
Unsur pertama berupa manajemen adalah kemampuan memobilisasi potensi sekecil apapun sesuai dengan karakter, prinsip dan ideologi Persyarikatan.
“Jepang, Korea Selatan adalah tipologi negara yang tidak punya sumber daya alam (SDA). Tapi mereka justru dengan keterbatasan SDA itu mampu memobilisasi sumber daya manusia yang luar biasa sehingga mereka menjadi maju sekarang ini,” tutur Haedar memberikan contoh.
Unsur kedua berupa sifat dinamis menurut Haedar diperlukan agar kepemimpinan selalu mampu mengagendakan perubahan.
“Perubahan itu bukan hanya kita hadapi, tapi juga kita ciptakan. Ketika kita hadapi, tentu perubahan seebagai obyek yang mengitari kita. Dan ketika kita menghadirkan perubahan sebagai agenda, kita bisa membangun perubahan itu agar sesuai dengan yang kita kehendaki,” jelasnya.
Haedar lalu mengisahkan bagaiman Kiai Ahmad Dahlan mampu memahami realitas itu dengan membangun berbagai pusat kemajuan seperti rumah sakit, sekolah, hingga organisasi perempuan.
Unsur ketiga berupa sifat visioner dianggap Haedar wajib dimiliki anggota Persyarikatan agar Muhammadiyah tidak gagap dalam menghadapi setiap dinamika zaman.
“Kira-kira Muhammadiyah 50 tahun ke depan di Indoensia dan di Riau itu sepertri apa? Persis Kiai Dahlan juga berpikir bahwa Muhammadiyah hari ini akan berbeda dengan Muhammadiyah yang akan datang,” jelasnya.
“Inikan perspektif keilmuan, memproyeksikan masa depan dengan berbagai macam langkah yang didesain oleh organisasi sehingga diujung hayatnya meskipun beliau (Kiai Dahlan) sakit, beliau mengatakan bahwa jika saya hentikan apa yang saya bangun ini, maka akan beratlah para penerus dan pelanjut Muhammadiyah,” imbuh Haedar.
“Artinya bahwa umat muslim, warga Muhammadiyah itu tidak mungkin bisa membangun peradaban jika dia menjadi orang mustadafin, jika dia lemah dan tertinggal. Maka dia harus menjadi umat yang tanazar dan punya jiwa wiqayah yang tinggi,” tutupnya.