Dr. Mohamad Ali, M.Pd.*
Pada hari senin, 25 Oktober saya berkunjung ke suatu Sekolah Muhammadiyah. Ada pemandangan aneh bin ajaib, yakni semua guru dan karyawan memakai seragam batik non-Muhammadiyah.
Pihak sekolah menyampaikan bahwa di sekolah ini setiap tanggal 25 (sebulan sekali) memakai seragam batik tersebut.
Ketika ditanyakan apakah sudah dengar Forum Guru Muhammadiyah (FGM), mereka mengaku sudah tahu, dan seragam batik FGM dipakai setiap tanggal 18 (sebulan sekali juga).
Pemandangan demikian ternyata bukan kasuistik, tetapi merata di sebagian besar lembaga pendidikan Muhammadiyah. Ringkasnya, mereka memakai seragam batik (identitas) ganda yang digunakan secara bergantian.
Seragam sebagai Simbol Identitas
Dari sudut pandang agama Islam, fungsi utama pakaian untuk menutup aurat. Tentu saja ada fungsi-fungsi lain, seperti keindahan.
Namun dalam konteks sosial, berpakaian terlebih lagi ada tambahan kata “seragam” bukan sekadar untuk menutup aurat dan keindahan, tetapi juga bermakna simbolik.
Pakaian seragam bisa dimaknai sebagai simbol identitas kelompok ataupun komunitas yang memiliki cita-cita dan sistem nilai yang sama.
Cita-cita dan sistem nilai FGM dengan organisasi profesi guru lain pasti berbeda, maka sungguh aneh bin ajaib bila di lembaga pendidikan Muhammadiyah ada penyeragaman pakaian organisasi profesi lain di luar FGM.
Identitas Keguruan Muhammadiyah Harus Percaya Diri
Pertanyaannya, terjadi dualitas identitas dalam konteks simbol seragam guru di sekolah Muhammadiyah? Umumnya ada dua alasan. (1) untuk mempererat jaringan dan memperlancar lalulintas komunikasi dengan Dinas Pendidikan setempat, dan (2) karena sudah menjadi tradisi dan berlangsung sejak lama, jauh sebelum FGM lahir, sehingga untuk mengubahnya sulit.
Alasan pertama terdengar aneh dalam konteks reformasi pendidikan. Sebab pasca reformasi tidak ada lagi monopologi “seragam guru” atau identitas guru sebagaimana pada masa Order Baru.
Pada masa Orde Baru memang ada paksaan untuk menyeragamkan identitas keguruan. Tapi sekarang, era reformasi, seharusnya sudah berubah.
Di Indonesia ada forum keguruan yang eksis. Ada PGRI, FGM dan Pergunu. Semua layak menampilakn citra simbol identitasnya masing-masing. Dan sudah selayaknya tidak ada perlakuan berbeda dalam konteks apapun.
Sehingga guru-guru Muhammadiyah tidak perlu merasa sungkan untuk menampilkan simbol keguruan Muhammadiyah. Sebagai contoh, di di Perguruan Muhammadiyah Kottabarat, Solo semua guru berseragam Muhammadiyah. Sejauh ini tidak ada hambatan sama sekali ketika berinteraksi dengan Dinas Pendidikan.
Alasan kedua mencerminkan keengganan untuk perubahan dan pembaruan. Seharusnya pengelola (kepala sekolah) dan penyelanggara (majelis Dikdasmen) pendidikan Muhammadiyah lebih percaya diri dan siap menyambut hal-hal baru.
Perlu ingat bahwa Muhammadiyah adalah gerakan tajdid, gerakan pembaruan yang mengutamakan kreativitas dan inovasi.
Mengurai Akar Masalah
Dari alur uraian singkat di atas dapat dipahami, argumentasi untuk menduakan FGM dengan organisasi profesi guru lain terpatahkan dan tidak bisa diterima. Namun, untuk mengatasi tidak semudah mematahkan argumentasi yang mereka ungkapkan. Sebab, ada hal di sebaliknya yang jauh lebih kompleks dan rumit.
Bila kita telisik lebih mendalam, di balik itu (baca: dua alasan yang dikemukakan di atas) ada masalah yang jauh lebih mendasar, yakni (1) keterpautan dan keterikatan dengan Dinas Pendidikan jauh lebih mendalam daripada dengan persyarikatan Muhammadiyah, sehingga berusaha memposisikan diri seolah-olah sebagai birokrat-pejabat pemerintah dan mengelola sekolah Muhammadiyah layaknya sekolah-sekolah negeri; (2) proses penjajahan simbolik (baca: pakaian seragam) itu demikian halus sehingga kita tidak merasa risi, risau, gelisah ketika guru-guru Sekolah Muhammadiyah berseram guru di luar FGM.
Ketika seragam profesi guru di luar FGM masuk dan menjadi pakaian seragam untuk guru-guru di sekolah Muhammadiyah harus dipahami sebagai penyimpangan dari garis perjuangan Muhammadiyah dan melanggar hasil Rakernas Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah tahun 2016 yang menyebut bahwa satu-satunya organisasi profesi guru yang sah dan diakui di sekolah Muhammadiyah adalah FGM (Mohamad Ali, Menggerakkan pendidikan Muhammadiyah, 2020: 80). Ringkasnya, sangat tidak pantas ada profesi maupun penyeragaman pakaian guru di sekolah Muhammadiyah selain FGM.
Penguatan Forum Guru Muhammadiyah
Posisi dan komitmen harus dipegang teguh seluruh pimpinan Majelis Dikdasmen dari pusat sampai ranting, dan segenap pimpinan sekolah (madrasah-pesantren) Muhammadiyah.
Sebab, ini benar-benar masalah krusial dan mendasar karena berkaitan identitas Muhammadiyah sebagai dakwah. Runtuhnya identias guru Muhammadiyah merupakan pintu pembuka keruntuhan sekolah Muhammadiyah.
Runtuhnya sekolah Muhammadiyah berarti runtuh wahana dakwah Muhammadiyah. Oleh karena itu, semoga tidak ada lagi yang memandang urusan seragam hanya masalah sepele dan artifisial.
Setelah komitmen ini dipegang teguh, barulah kita menyusun strategi dan langkah-langkah operasional untuk mengarusutamakan FGM di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Beberapa strategi yang perlu dipertimbangkan oleh pengurus FGM antara lain: (1) penyegeraran kepenguruan FGM harus berjalan regular setiap 2 tahun sekali; (2) penguatan advokasi untuk memperkuat posisi guru Muhammadiyah; (3) peningkatan kesejateraan guru-guru Muhammadiyah.
Tentu saja seluruh pimpinan Majelis Dikdasmen di seluruh tingkatan berupaya membangun komunikasi yang intensif, membimbing, dan mengajak diskusi pengurus FGM sedemikian rupa sehingga mereka benar-benar merasa menjadi bagian dari keluarga besar pengelola dan penyelenggara pendidikan Muhammadiyah. Bila perlu, pimpinan Majelis ada yang menjadi pengurus FGM, bukan hanya para penyelanggara pendidikan Muhammadiyah juga guru-guru Muhammadiyah dalam makna yang luas.
Semoga esai ringkas ini mampu menyentak kesadaran, membangkitkan nalar kritis pimpinan Muhammadiyah sebagai pemilik, pimpinan Majelis Dikdasmen sebagai penyelanggara, dan pimpinan AUM pendidikan agar tidak larut pada alunan kendang yang ditabuh orang lain. Kalau pesan esai ini dianggap biasa-biasa, mungkin harus menunggu keruntuhan sekolah Muhammadiyah di depan matanya. Kalau keruntuhan sekolah Muhammadiyah di lingkungan terdekat tidak mampu menyentak kesadannya, barangkali memang sudah tidak peduli dengan persyarikatan ini.
* Pengasuh Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo dan Anggota Majelis Dikdasmen PP Muhamadiyah.
Editor: Fauzan AS