MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ruang lingkup pendidikan Fikih di Sekolah Menengah masih terjebak pada fikih praktis. Lailan Arqam, dosen Hukum Islam Universitas Ahmad Dahlan, mengungkapkan bahwa terjebaknya pada fikih praktis mengakibatkan fikih hanya dimaknai sebagai aturan yang ujung-ujungnya hanya soal halal atau haram.
“Banyak di antara kita yang menganggap fikih hanya sebatas hukum. Jadi kalau berbicara halal, haram, makruh, itu fikih namanya. Kita bisa coba tes pada anak didik kita atau di perguruan tinggi, coba tanya: Apa itu fikih? Jawabannya paling tidak sama, fikih ya salat, wudhu, haji, dsb,” tutur Arqam dalam acara yang diselenggarakan UAD pada Jumat (23/07).
Ketika fikih hanya dimaknai amalan praktis semata, kata Arqam, fikih akan terkesan bersifat statis. Selain itu, kurang mendalamnya pemahaman akan fikih menyebabkan pengamalan ibadah berdasarkan subyektivitas rasa bukan obyektivitas dalil. Pada akhirnya, tujuan fikih untuk kemaslahatan tidak tersampaikan.
“Hikmah di pandemi ini, saya melihat, wajah pengamalan ibadah dari masyarakat kita, khususnya di Muhammadiyah, masih banyak PR. Tarjih sudah menetapkan sebuah keputusan tapi di lapangan masih ada yang tidak sepakat,” ungkap Arqam.
Lailan Arqam menjelaskan bahwa berbicara fikih tidak sebatas atau berakhir halal atau haram, namun fikih merupakan aturan kehidupan yang tujuannya taqarrub ila Allah. Imam al-Syatibi juga turut menjelaskan dalam al-Muwafaqat bahwa Fikih selalu diarahkan dalam rangka menangkap maksud Tuhan sekaligus mencari jalan yang paling mashlahat untuk dunia dan akhirat.
“Fikih ini kendaraan kita sebagai khalifah fi al-ardh untuk mengatur norma-norma sehingga dengan itu kita bisa menjadi dekat dengan Allah Swt. Jadi idealnya fikih dapat menjawab permasalahan yang ada pada setiap zaman,” jelas Arqam.
Fikih merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan Islam yang shalih likulli zaman wa makan. Sebagaimana yang telah disinggung oleh Ibnu Rusyd, al-Qur’an dan Hadist itu terbatas (mutanahiyat), sementara realitas-realitas yang terjadi di alam raya ini sifatnya tidak terbatas (ghair mutanahiyat), maka perlu melakukan pembaharuan yang sesuai dengan denyut ruang dan waktu yang jalan pelaksanaannya dapat ditempuh melalui fikih.
“Karena itu, produk fikih dari masa ke masa berbeda sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Karenanya, fikih itu sejatinya untuk kemaslahatan serta bagaimana cara kita bermuamalah (beribadah) dengan Allah dengan cara yang benar,” kata Arqam.