MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Adanya beberapa lembaga di Indonesia yang memiliki otoritas untuk memberikan fatwa. Keberadaan lembaga fatwa tersebut membawa pada kenyataan perbedaan pandangan satu sama lain. Fatwa-fatwa mereka terhadap suatu persoalan bisa jadi sama, tetapi tidak jarang juga berbeda.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Niki Alma Febriana Fauzi menegaskan bahwa setiap fatwa dari kelompok tertentu tidak dapat membatalkan fatwa dari kelompok lain, melainkan memiliki kekuatan hukum yang sama.
Di era sahabat Nabi, perbedaan pendapat tentang suatu persoalan agama juga telah terjadi. Hal tersebut seperti terekam dalam hadis Nabi yang menceritakan tentang perjalanan para sahabat menuju Bani Quraidzah. Dalam perjalanan itu, ada yang memahami perintah Nabi untuk salat Asar di tempat Bani Quraidzah secara literal, ada juga kelompok yang memahami perintah tersebut secara kontekstual. Terbaginya sahabat Nabi menjadi dua kelompok dan adanya apresiasi Nabi terhadap dua pendapat yang berbeda itu menjadi dasar bagi para ulama setelahnya untuk mengakomodasi dua kecenderungan tersebut.
Sementara itu, kasus perbedaan fatwa yang sering menjadi diskusi tahunan yaitu tentang penentuan awal bulan hijriah. Nahdlatul Ulama (NU) menganut metode rukyat, sementara Muhammadiyah berpegang pada hisab. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencoba mengombinasikan dua metode tersebut dengan menganut metode yang dikenal dengan imkanur rukyat, yakni jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di seluruh Indonesia kurang dari dua derajat, maka bulan baru tidak mungkin terlihat.
“Perbedaan ini sesungguhnya sangat baik jika dilihat dari perspektif keberagaman yang sehat. Namun demikian masih ada beberapa kalangan Muslim yang tidak dapat melihatnya sebagai sebuah keniscayaan dari perbedaan interpretasi,” ujar Niki Alma Febriana Fauzi kepada tim redaksi Muhammadiyah.or.id pada Selasa (15/2).
Niki Alma menguraikan bahwa dalam sidang isbat penentuan awal bulan, MUI memegang kaidah “hukm al-hakim ilzamun wa yarfaʻ al-khilaf (keputusan seorang hakim itu mengikat dan menghilangkan silang pendapat).” Sehingga, apapun keputusan pemerintah yang dalam hal ini diwakili Kementerian Agama akan didukung dan diikuti. Sedangkan NU hanya menerima laporan hilal jika tingginya dua derajat atau lebih di atas ufuk. Sehingga prinsip ini nampaknya serupa dengan yang dianut MUI dan pemerintah.
Bagi Muhammadiyah, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk (pada saat terbenam matahari di seluruh Indonesia), seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru. Selain itu, Muhammadiyah memandang “Ulil Amri” tentang persoalan awal bulan hijriah bukan pada pemerintah melainkan lembaga fatwa yang di dalamnya terdapat sejumlah ulama. Ketiadaan mufti di Indonesia menjadikan urusan keagamaan semacam ini rentan untuk dipolitisasi.
Terjadinya perbedaan fatwa itu tidak membuat MUI, NU, dan Muhammadiyah menjustifikasi fatwa mereka satu-satunya yang benar. Keharmonisan tiga organisasi ini, di tengah perbedaan yang mereka miliki tentunya, merupakan implementasi yang sangat baik dari apa yang Nadirsyah Hosen sebut sebagai intra-religious pluralism, yakni pandangan yang dianut oleh mazhab atau kelompok tertentu dalam suatu agama dianggap memiliki kekuatan hukum yang setara.
“Fenomena perbedaan fatwa ini menggambarkan betapa elemen demokrasi dan toleransi sangat kentara dipraktikkan oleh lembaga-lembaga fatwa di Indonesia,” terang dosen Studi Islam Universitas Ahmad Dahlan ini sambil mengutip tulisan Nadirsyah Hosen yang berjudul ‘Hilal and Halal: How to Manage Islamic Pluralism in Indonesia?’ dari Asian Journal of Islamic Law (Cambridge).