MUHAMMADIYAH.OR.ID, MEDAN—Sejak berabad-abad lalu, diskursus fikih telah menjadi pijakan utama dalam menentukan hukum dan etika dalam kehidupan umat Muslim. Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir mengatakan bahwa paradigma fikih akan terus mengalami perubahan signifikan yang didorong oleh dua faktor utama: perubahan konteks sosial politik, dan kemajuan teknologi dan sains.
Perubahan epistemologi fikih selalu sejalan dengan pergeseran dalam konteks sosial-politik dunia Islam. Era kolonialisme Barat membawa tantangan baru bagi tradisi hukum Islam. Penjajah Barat memasukkan sistem hukum sekuler yang berbeda dengan hukum Islam yang telah mengatur masyarakat Muslim selama berabad-abad.
Selain itu, intelektual Muslim yang terdidik di Barat juga memainkan peran penting dalam mengubah paradigma fikih. Mereka membawa nilai-nilai Barat, seperti pemikiran liberal dan konsep negara-bangsa, ke dalam pemikiran hukum Islam. Ini menciptakan perdebatan intens dalam komunitas Muslim tentang bagaimana memadukan nilai-nilai Barat dengan tradisi fikih Islam yang kaya.
Dengan demikian, perubahan epistemologi fikih akibat pergeseran lanskap sosial politik, dua agen yang berpengaruh adalah: Penjajah Barat, dan para intelektual Muslim yang terdidik di Barat. Penjajah Barat membawa institusi yang sama sekali berbeda dengan habitat hukum Islam, sementara para intelektual Muslim yang terdidik di Barat menghiasi pemikiran hukum Islam dengan nilai-nilai Barat.
“Para penjajah Barat sendiri memaksa kita untuk berubah, mereka mengganti sistem hukum kita dari mazhab menjadi KUHP. Tapi ada juga perubahan paradigma fikih yang dilakukan oleh intelektual muslim sendiri, yang pemikirannya mengalami pembaratan,” tutur Rofiq dalam kajian yang diselenggarakan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU) pada Sabtu (16/09).
Tidak hanya perubahan sosial-politik yang memengaruhi pemikiran fikih, tetapi kemajuan teknologi juga memiliki dampak besar. Menurut Rofiq, perkembangan alat-alat seperti telegraf, teleskop, fonograf, dan fotografi telah membuka pintu bagi pertanyaan baru dalam hal hukum Islam. Misalnya, bagaimana teknologi modern mempengaruhi cara kita melihat fenomena alam dan astronomi, menjadi pertanyaan yang harus dijawab oleh cendekiawan Islam.
Perubahan paradigma fikih yang kita saksikan adalah bukti bahwa fikih Islam adalah ilmu yang hidup dan selalu beradaptasi dengan tuntutan zaman. Meskipun perubahan ini telah memunculkan ketidakpastian dan perdebatan dalam komunitas Muslim, ia juga membawa potensi untuk pembaruan dan peningkatan dalam memahami prinsip-prinsip hukum Islam.
Para Ulama Bukan Penghalang Perubahan
Menurut Fazlur Rahman dalam “Islam & Modernity,” para ulama adalah agen dari masa lalu. Dalam pandangannya, ini dapat menjadi hambatan bagi kemajuan dan penyesuaian Islam dengan tuntutan zaman modern. Di sisi lain, Muhammad Qasim Zaman dalam “The Ulama in Contemporary Islam” berpendapat bahwa ulama bukanlah penghalang perubahan.
Contoh konkret dari pemikiran ulama yang mencerminkan perubahan adalah pemikiran Muhammad Bakhit al-Mutii. Menurut Rofiq, Bakhit tidak lagi mempertahankan pemisahan yang ketat antara fikih dan astronomi. Bakhit meyakini kepastian sains dan membuktikan bahwa ulama pun dapat mengikuti perkembangan ilmiah tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama.
“Bakhit tidak lagi mempertahankan pemisahan antara fikih dan astronomi ini. Pemikirannya menandai adanya hubungan yang berbeda secara kualitatif antara sains dan hukum dibandingkan dengan hubungan yang berlaku pada periode pra modern,” tutur Rofiq.
Hits: 164