MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG — Secara etimologis khulu’ berasal dari bahasa arab yaitu khala’a – yakhlu’u – khal’an yang berarti mencabut, melepaskan. Secara terminologi khulu’ dalam kitab at-Ta’rifat oleh al-Jurjawi disebutkan: hilangnya ikatan pernikahan dengan adanya pemberian (tebusan).
Dalam Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 pasal 19 disebutkan perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan, di antaranya:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
- Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116 terdapat dua poin tambahan:
- Suami melanggar taklik-talak,
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dalam Fatwa Tarjih yang termuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 16 tahun 2015 disebutkan bahwa kadar tebusan khulu’ yang diberikan oleh istri harus sebanding dengan mahar yang diberikan suami. Hal tersebut berdasarkan hadis:
Dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas [diriwayatkan bahwa] sesungguhnya istri dari Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah Saw, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mencela Tsabit bin Qais baik dalam segi akhlak maupun agamanya, akan tetapi saya membenci kekafiran sesudah masuk Islam. Rasulullah Saw bersabda, “Apakah engkau hendak mengembalikan kebunnya kepadanya?” Jawabnya, “Iya”. Rasulullah Saw lalu berkata kepada Tsabit, “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia satu kali”.” [HR. al-Bukhari, Bab Khulu’ Wa Kaifiyatu ath-Thalak fiihi, hadis no. 5273].
Meski kadar tebusan khulu’ yang diberikan oleh istri harus sebanding dengan mahar yang diberikan suami, namun tidak menutup kemungkinan dapat lebih besar atau lebih kecil dari mas kawin yang diberikan kepada istri selama atas dasar kerelaan suami. Sebagaimana terdapat dalam hadis: Nabi Saw bersabda, orang Islam terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya” [HR. al-Bukhari, bab ke-15 Ajru as-Samsarah].
Adapun terkait dengan kedudukan tebusan (‘iwadh) dalam perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 148 ayat 4 “setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi”. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 148 ayat 4 tersebut maka dapat disimpulkan, meskipun ‘iwadh belum dibayar tetapi sudah ada keputusan tentang besarnya ‘iwadh maka sudah jatuh talak.
Hits: 594