Oleh: Drs. H. MS. Anwar Sandiah
Penasehat PWM Sulawesi Utara
Peran kebangsaan Muhammadiyah seringkali tercatat tidak seimbang. Seperti diketahui, tesis nasionalis-pluralis lebih dominan dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Dalam tesis nasionalis-pluralis, riwayat nasionalisme seolah-olah hanya berisi cerita kultus pada pemimpin nasionalis di Jawa seperti Soekarno dan RA Kartini serta fokus pada militer.
Padahal, Indonesia zaman Kolonial berisi rangkaian proses konsolidasi kebangsaan yang digerakkan identitas pra nation-state seperti Muhammadiyah. Bayangkan, selama dekade 1930-an saja, cabang Muhammadiyah sudah tersebar nyaris di seluruh penjuru Nusantara. Tidak hanya di Jawa.
Mungkin salah satu sebabnya karena sejarah Muhammadiyah itu berada di antara tingkat akar rumput sekaligus elit Islam. Ada tokoh-tokoh elit Jawa dan Sumatera yang menghiasi sejarah Muhammadiyah.
Tapi juga ada kisah aktivis lokal dan mubaligh Jawa yang menetap di Kalimantan, Sulawesi, Papua dan NTB. Ini tentu kurang pas dengan cara pandang bipolar sejarawan lama. Mereka cenderung suka melihat komposisi masyarakat dalam kelas sosial atas dan bawah yang digambarkan bertolak belakang wataknya.
Saya tidak tahu benar atau tidak. Konon, sarjanawan luar negeri kurang suka kalau ada potret modernis tulen pada kaum muslim di negara dunia ketiga. Mungkin mereka tidak mau membayangkan bahwa justru dari kaum muslim Indonesia-lah, terutama Muhammadiyah, teori-teori tentang modernisasi masyarakat bisa berlaku. Cara pandang itu memang erat kaitannya dengan bias kacamata orientalisme yang berharap menemukan eksotisme pada kebudayaan orang-orang di dunia Timur.
Ada tiga standar peran Muhammadiyah yakni, feeding (penyantunan dan pemberdayaan), schooling (pendidikan) dan healing (pengobatan). Tiga peran itu sudah dirintis sejak berdiri organisasi pada 1912 di Kauman, Yogyakarta. Dan, masih bertahan, bahkan berkembang hingga sekarang.
Dalam artikel pendek ini akan dijelaskan peran-peran kebangsaan Muhammadiyah melalui pembagian enam fase yakni: masa Hindia-Timur (1912-1942), Pendudukan Jepang (1942-1945), Kemerdekaan (1945), Kelahiran Republik Indonesia (1945-1965) Orde Baru (1965-1998) dan era Reformasi (mulai 1998 hingga sekarang). Karena begitu terbatasnya ruang, tidak semua nama tokoh, peristiwa dan momentum tercatat secara layak. Artikel ini bertujuan mengonseptualisasi “peran kebangsaan” Muhammadiyah secara historis melalui sebagian kecil saja contoh-contoh yang telah ada.
Enam Fase Peran Kebangsaan
Penelusuran historiografi Muhammadiyah menunjukkan betapa penting dan krusialnya tokoh, massa dan gerakan organisasi ini dalam “kebangsaan” republik Indonesia. Saya membagi peran kebangsaan itu ke dalam enam fase, sebagaimana yang saya sampaikan (tawarkan) pada jamaah pengajian tanggal 14 Agustus 2021.
Fase pertama saya sebut fase Hindia-Timur (1912-1942). Kedua adalah fase Pendudukan Jepang (1942-1945). Ketiga adalah fase deklarasi Kemerdekaan (1945). Keempat adalah fase awal kelahiran Republik Indonesia (1945-1965). Kelima adalah fase Orde Baru (1965-1998). Dan, terakhir adalah fase Reformasi (1998 hingga sekarang).
Pembagian enam fase peran kebangsaan ini mengikuti riwayat sejarah Indonesia modern, baik pada masa kolonial hingga kemerdekaan. Persoalannya sekarang adalah apa yang dimaksud dengan “peran kebangsaan” itu sendiri? Jenis identitas “bangsa” seperti apa yang diperjuangkan Muhammadiyah pada masa Kolonial Belanda?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Saya akan menggunakan penjelasan Benedict Anderson (1983) tentang bangsa sebagai komunitas terbayang (imagined community). Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1915, Muhammadiyah sudah punya publikasi cetak berupa majalah bernama Soeara Moehammadijah. Dan setidaknya pada 1921, majalah ini sudah menggunakan bahasa Melayu, setelah sebelumnya banyak menggunakan bahasa Jawa dan Arab Pegon.
Bangsa sebagai “komunitas terbayang” berasal dari titik balik, cara berpikir baru sekelompok orang atau kelompok dalam merefleksikan kediriannya sendiri. Hal ini hanya dimungkinkan oleh kapitalisme-cetak (print-capitalism) sebagaimana dijelaskan Anderson. Alasan utama mengapa majalah Soeara Moehammadijah menggunakan bahasa Melayu, karena Muhammadiyah mulai menyebar ke luar Jawa.
Menurut hemat saya, Muhammadiyah menemukan pengertian bangsa itu karena diikat oleh jaringan mubaligh dan dai yang tersebar di luar Jawa, bahkan ke area pesisir di ujung utara dan ke arah timur Kepulauan. Ada jalinan identitas yang saling melekat pada aktivis Muhammadiyah yang membuat mereka sadar bahwa bahasa adalah perantara pokok gagasan, identitas dan gerakan.
Pembentukan kesadaran diri yang saling terhubung yang diperantarai oleh bahan-bahan (majalah atau pamflet) menunjukkan suatu konsepsi “bangsa.” KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah bahkan menekankan betapa pentingnya surat Ali Imran ayat 104 yang berisi konsep suatu kelompok di antara kamu yang menyeru pada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran.
Suatu kesadaran tentang kelompok inilah yang menjadi akar rasa dan identitas sebagai bangsa yang selama masa Kolonial terus menerus mencari identitas pemersatunya. Bagi orang Muhammadiyah, bangsa tidak lain adalah menjadi “suatu kelompok” yang kreatif menciptakan perubahan atas nasib masyarakatnya.
Menjadi jelas bahwa trayektori “peran kebangsaan” Muhammadiyah pada masa Kolonial Belanda adalah konsolidasi identitas melalui pemberdayaan umat, pemerataan akses pendidikandan pelayanan kesehatan. Dan dalam masa negara-bangsa Republik Indonesia, peran kebangsaan Muhammadiyah itu bekerja dengan logika yang sama yakni menjadi “sekelompok orang” yang bekerja untuk tujuan-tujuan mulia.
Fase Hindia-Timur (1912-1942)
Fase Hindia-Timur berlangsung sejak awal mula berdiri Muhammadiyah. Pada masa ini ada empat peristiwa penting yang mendasari spirit kebangsaan Muhammadiyah. Pertama, menyelenggarakan pendidikan untuk kaum bumiputra, termasuk di antaranya adalah buruh-buruh di sekitar Kauman.
Kedua, penyebaran Muhammadiyah ke berbagai daerah di Jawa, dan perlahan merambah ke Sumatera dan Sulawesi. Kemudian pada usianya yang baru tiga dekade, sudah hampir tersebar merata di seluruh Nusantara, lengkap dengan sekolah atau kegiatan pemberdayaan.
Ketiga, adalah ketika Muhammadiyah mulai menerbitkan Soeara Moehammadijah pada 1915 dan majalah Soeara Aisjijah yang sudah dirintis melalui lembaran Isteri-Islam tahun 1925 (Mu’arif & Setyowati, 2020). Hingga kini, dua majalah ini merupakan majalah tertua yang masih eksis.
Keempat, adalah masa kosmopolitanisme Muhammadiyah yang ditandai dengan keterlibatan aktivis Aisyiyah dalam Kongres Perempuan tahun 1928. Utusan Aisyiyah adalah Siti Munjiyah dan Siti Hayyinah Mawardi. Kemudian aktivis Muhammadiyah mewakili umat Islam melalui Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) pergi ke Jepang pada 1939 (Ma’ruf, 1940). Utusan dari unsur Muhammadiyah adalah H. Abdul Kahar Muzakkir dan H. M. Farid Ma’ruf.
Ironisnya, hanya pada bagian pertama saja yakni bidang pendidikan dan keagamaan yang dikenal atau dijadikan bagian dari historiografi Indonesia. Itu pun menempati posisi pinggiran sejarah perkembangan pendidikan pada masa Kolonial Belanda, misalnya jika dibandingkan dengan Taman Siswa yang baru berdiri pada 1922 dan sekarang hanya berkembang di beberapa titik saja di Jawa.
Fase Pendudukan Jepang (1942-1945)
Fase Pendudukan Jepang berlangsung sejak Nipon datang ke Jawa dan berakhir jelang deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Ini adalah masa transisi dari pendudukan Jepang menuju proklamasi kemerdekaan. Pada era ini peran aktivis Muhammadiyah sangat krusial.
Nama-nama figur Muhammadiyah menghiasi masa transisi yang begitu penting ini, di antaranya: KH. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Nyai Siti Walidah, serta Soekarno. Bagi pemerintah militer Jepang di Jawa dan kalangan nasionalis, tokoh-tokoh Muhammadiyah tersebut dikenal sebagai “pemimpin pergerakan Islam.”
Khusus KH. Mas Mansur, ia adalah bagian dari Empat Serangkai bersama Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantara. KH. Mas Mansur sangat dikenal di kalangan nasionalis dan pemerintah militer Jepang di Jawa. Itu sebabnya ketika Jepang mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (Putera), salah satu pucuk pimpinannya diserahkan pada KH. Mas Mansur.
Banyak peristiwa penting yang terjadi dalam konteks peran kebangsaan Muhammadiyah selama masa pendudukan Jepang. Tapi satu peristiwa yang perlu dicatat tanpa mengabaikan yang lain adalah situasi jelang masa persiapan kemerdekaan.
Pada November 1943, Ki Bagus Hadikusumo, Soekarno, dan Mohammad Hatta, diundang Pemerintah Jepang di Tokyo. Menurut Hatta ini tidak lain adalah pembuangan politik. Di sana, ketiganya bertemu dengan Perdana Menteri Jenderal Tojo, Count Kodama, dan Kaisar Hirohito “Showa” Tenno Heika. Kaisar menganugerahi ketiganya Bintang Ratna Suci. Peristiwa ini menggemparkan golongan Kenpentai atau pemerintah militer di Indonesia (Hatta, 1982). Sebab utamanya karena Kaisar yang begitu jarang bersalaman dengan bawahannya sendiri, ternyata menjabat tangan Ki Bagus, Soekarno dan Hatta.
Keberangkatan Ki Bagus, Soekarno dan Hatta ke Tokyo menjadi pembuka jalan kemerdekaan Indonesia. Seperti diceritakan Hatta dalam biografinya, dengan dianugerahinya mereka bertiga Bintang Ratna Suci, itu artinya Jepang akan memerdekakan Indonesia dalam waktu dekat.
Fase Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
Masa kemerdekaan Republik Indonesia dihitung sejak pembacaan proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi batasan ini bersifat lentur. Karena periodisasi ini hanya sekedar menegaskan perubahan lanskap dari yang sebelumnya berada di bawah cengkraman tentara Jepang menuju negara baru. Jadi rentangnya bisa lebih awal yakni akhir 1944 hingga pertengahan 1946.
Pada fase ini, satu tokoh Muhammadiyah akan diajukan sebagai simbol peran kebangsaan, yakni Mr. Kasman Singodimedjo. Dua belas hari setelah deklarasi Kemerdekaan, Kasman ditunjuk menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atau cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tepatnya antara tanggal 29 Agustus hingga 16 Oktober 1945. KNIP merupakan badan pembantu Presiden. KNIP Pusat terdiri atas 137 orang.
Kasman menduduki jabatan penting selama tahun awal Kemerdekaan. Kasman merupakan Jaksa Agung Republik Indonesia yang pertama. Ia menjabat posisi itu antara tanggal 6 November 1945 hingga tanggal 10 Mei 1946. Kemudian, Kasman menjabat Jenderal Mayor sebagai Kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi Kementrian Pertahanan RI antara tanggal 20 Mei 1946 hingga 22 Juni 1946.
Pada masa kabinet Amir Sjarifuddin II yang berlangsung antara tanggal 11 November 1947-29 Januari 1948, Kasman menjabat Menteri Muda Kehakiman. Selain jabatan politik, Kasman juga pernah menjadi Juru Bicara Pemerintah Darurat RI di Jawa yang dimulai pada tanggal 29 Januari 1949.
*Artikel ini merupakan bahan ceramah pada Pengajian Virtual Majelis Tabligh-Tarjih PWM Sulawesi Utara. Turut serta Prof. Dr. Dadang Kahmad, M.Si mewakili PP Muhammadiyah mengisi tausiyah kebangsaan.
Editor: Fauzan AS
Hits: 6203