MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA— Dasar kehadiran agama tiada lain adalah untuk keadaban, sehingga jika manusia miskin keadaban bisa dikatakan agama itu tidak ada. Kemudian agama juga bisa menjadi springboard (batu loncatan) bagi pembentukan Negara.
Agama dengan kemampuannya membentuk keadaban publik, karena mampu menciptakan hubungan yang bukan hanya berdasarkan primordial, dan didasarkan pada penguasaan dominative. Menurut Yudi Latief, itu menjadi ruang untuk pembentukan Negara.
“Negara itu hadir ketika keadaan masyarakat lebih kompleks, dan masyarakat kompleks tersebut punya order, kemudian order ini dibangun oleh agama. Dan lebih dari itu, agama juga memberi launching pad bagi pembentukan Negara modern,” urai Yudi Latief pada (23/1).
Memaparkan tentang runtutan sejarah pembentukan Negara, Cendikiawan Muslim ini menjelaskan, pertumbuhan Negara di tingkat awal sifatnya masih patrimonial (kekuasaan pribadi) atau Negara dipersonalisasi “negara menjadi miliku dan keluarga ku”.
Pada level lanjut, Negara masuk pada level modern. Negara dengan kemampuan agama membentuk tertib sosial, hukum, keteraturan dan kesederajatan manusia. Terlebih Islam yang datang sebagai logosentris, berbasis teks.
Artinya ada perubahan dari kebiasaan kepemimpinan masyarakat primitif, karena Agama Islam mengubah sistem ‘pemujaan’ kepada orang (antroposentris) beralih kepada teks.
“Jadi sebenarnya orang-orang Islam lebih mungkin melakukan hubungan kenegaraan yang sifatnya impersonal, karena basis kitabnya itu teks. Terbiasa dengan teks, kepatuhan pada teks, bukan kepatuhan kepada orang,” ungkapnya.
Islam adalah Pondasi Negara Modern
Menurut Guru Besar di Universitas Padjajaran ini, seharunya Agama Islam memberi pra kondisi kepada Umat Islam untuk siap masuk pada level Negara modern. Sebuah tatanan Negara Modern adalah Negara yang diatur dengan hukum-hukum yang sifatnya impersonal, dan siapapun boleh memimpin Negara tanpa mempertimbangkan asal-usul keturunan.
“Itulah negara modern di mana basisnya adalah meritokrasi, jadi agama memberi launching pad pada meritokrasi,” imbuh Kang Yudi.
Melihat Indonesia saat ini, menurut Yudi Latief masih digolongkan sebagai Negara patrimonial. Di mana oligarki ‘membonceng’ demokrasi, serta sifat Negara patrimonial ini tercermin jelas di Indonesia mulai dari level pusat sampai daerah.
“Kalau kita dikatakan sebagai Negara religious, mestinya menjadi Negara yang penuh keadaban, yaitu dengan keluar dari tarikan primitive-primata. Kita mengembangkan dunia yang lebih lebar dan mengembangkan nilai,” urainya.
Mengutip Emanuel Kant, Yudi menyebut agama hadir untuk membuat manusia keluar dari insting kebinatangan, dan itu akan berhasil kalau orang-orang beragama mampu mengembangkan-berjejaring dalam jaring kebajikan. Karena berjejaring dengan jaring kebajikan, memiliki peluang mengalahkan insting kebinatangan.
Sehingga rumah ibadah termasuk masjid harus menjadi jaringan etik, manakalah masjid tidak menjadi jaringan etik pada saat itu pula agama itu hilang. Dan apabila agama itu lenyap, berarti manusia kehilangan sarana menjadi atau mencapai masyarakat manusia dan masyarakat beradab.
“Saat ini banyak orang beragama, tapi mengukuhkan insting kebinatangan. Itu keluar dari dasar ontologisnya, karena agama harusnya membebaskan manusia dari insting kebinatangan,” pungkas Yudi Latief