MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Kebutuhan terhadap sertifikasi halal beriringan dengan ikhtiar pemerintah menggarap industri halal nasional. Meskipun begitu, ternyata tidak semua pengusaha yang telah memiliki kesadaran untuk mendapatkan sertifikasi dapat terakomodasi pemerintah, terutama pengusaha dari kelompok usaha mikro dan ultra-mikro.
Dalam webinar “Industri Halal dan Kebutuhan Sumber Daya Halal” ITB-AD Jakarta, Senin (28/3) Direktur Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayiban (LPH-KHT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Nadratuzzaman Hosen mengungkapkan masalah tersebut.
Menurutnya, hambatan bagi pengusaha level mikro dan ultra-mikro muncul dari dua hal. Pertama, standar dokumen dari Komisi Fatwa MUI masih berbentuk untuk perusahaan menengah ke atas.
Kedua, dalam proses audit kehalalan produk, biaya akomodasi dan perjalanan auditor umumnya harus ditanggung pihak yang diaudit. Kedua hal inilah yang membuat sertifikasi di tingkat bawah minim terjadi.
Membaca masalah di atas, Pimpinan Pusat Muhammadiyah kata Nadratuzzaman berusaha memberi solusi dengan mendirikan LPH-KHT.
“Kami memang dibentuk oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai lembaga pemeriksa halal dan bagian halalan thayyiban karena ada UU Tahun 2014 yang mengamanatkan adanya LPH ini. Jadi BPJPH, LPH, dan Komisi Fatwa MUI adalah tiga serangkai yang bisa menghasilkan sertifikat halal,” ungkapnya.
Dibandingkan berbasis kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) LPH-KHT sendiri diharapkan Nadra berbasis pada Perguruan Tinggi Muhammadiyah-‘Aisyiyah (PTMA) dan bekerja sama dengan halal center di setiap kampus.
Saat ini Muhammadiyah sudah memiliki 13 buah halal center dan diharapkan akan tumbuh pada setiap kampus. Tersebarnya ratusan PTMA di seluruh Indonesia disebut Nadra sebagai anugerah tersendiri bagi Indonesia dalam mempercepat ikhtiar industri halal.
Keberadaan halal center dinilai Nadra memberi solusi cemerlang karena selain menekan biaya auditor di atas, maka para pelaku industri mikro dan ultra mikro juga lebih mudah mendapatkan pendampingan.
“Kami dari LPKHT mendorong halal center di kampus karena di sanalah ada Sumber Daya Manusia. Pengalaman saya sebagai Ketua LPPOM, mencari auditor dan kehalalan ini perlu waktu. Dulu LPPOM bisa berdiri karena di-back up para dosen. Sekarang tidak bisa lagi, karena kami ingin ada auditor tetap yang bekerja secara full time,” ungkap Nadra.
Meskipun halal center tidak bisa mengeluarkan sertifikat halal, tetapi keberadaannya mampu mengeluarkan ikrar halal dari para pelaku usaha sebagai alternatif jaminan halal dan tayib. Ikhtiar ini kata Nadra memang satu-satunya jalan terbaik yang bisa ditempuh oleh LPH-KHT.
Kata dia, LPH-KHT telah berulang kali mengajukan kepada Lazismu agar proses pembiayaan auditor dalam proses sertifikasi halal pelaku pelaku usaha mikro dan ultra mikro yang secara umum adalah kaum dhuafa dapat diakomodasi. Akan tetapi pengajuan itu tetap ditolak.
Di samping itu, LPH-KHT juga berharap segera keluar Surat Keputusan (SK) dari pemerintah terkait LPH. Tidak adanya kejelasan SK membuat LPH-KHT Muhammadiyah menanggung sendiri pembiayaan operasional kantor yang tidak sedikit.
“Kami mohon segera cepat ada kepastian sehingga kami lebih cepat bekerja,” kata Nadra. Terakhir, Muhammadiyah kata Nadra akan terus berkolaborasi dengan semua pihak agar mimpi memajukan Industri Halal di Indonesia lebih cepat terwujud.
“Tiga serangkai antara LPH, BPJPH, dan MUI harus betul-betul kompak dan bekerja sama dengan baik sehingga pengusaha merasa nyaman dan puas, dan konsumen merasa terlindungi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan aman dan nyaman karena terbukti halal dan tayiban,” pungkasnya. (afn)