MUHMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Muhammadiyah yang secara sederhana berarti pengikut Nabi Muhammad SAW, menjadikan setiap warga persyarikatan selalu dan senantiasa berusaha untuk menyamakan segala tindak, perilaku, dan sifatnya sesuai dengan Nabi Muhammad SAW.
Demikian disampaikan oleh Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah dalam Kajian Rutin Masjid At Tanwir PP Muhammadiyah di Jakarta, pada Ahad (31/1) dengan tema “Muhammadiyah di Tengah-Tengah Kehidupan yang Semakin Pragmatis.”
Sebagai warga persyarikatan, menurut Abbas, tidak boleh ketika berjuang di dunia hanya satu sisi hanya untuk dunia saja, atau hanya demi akhirat semata. Keduanya harus diseimbangkan.
“Dengan demikian ada dua kepentingan yang harus kita diperjuangkan. Pertama, kepentingan kehidupan kita di dunia, dan yang kedua adalah kepentingan kita di akhirat kelak,” tuturnya.
Melihat tipologi manusia dari sudut pandang kepentingan tersebut, menurutnya dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu orang yang hanya mementingkan kepentingan dunia saja dan orang yang mementingkan kepentingan akhirat. Serta yang ketiga adalah orang yang mementingkan kepentingan dunia dan akhirat.
Sehingga jika ditarik salah satu dari tiga tersebut, Warga Muhammadiyah masuk dalam tipologi yang ketiga, yaitu orang yang mementingkan kepentingan akhirat dan dunia. Dalam pandangan Muhammadiyah, manusia berjuang harus memiliki cita-cita yang diraih dengan keyakinan. Dari sini kemudian lahirlah Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM).
“Orang Muhammadiyah itu adalah orang yang punya cita-cita dan itu didasari dan dilandasi dengan keyakinan, keyakinannya berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Supaya selamat di dunia dan akhirat,” terang Abbas.
Namun pada realitasnya, menurut Abbas, banyak orang Islam yang berjuang dalam hidupnya hanya satu sisi keduniaan saja dan melupakan akhirat. Tipologi orang tersebut adalah jenis orang-orang pragmatis, yang berjuang hanya untuk jangka pendek.
Pragmatisme tersebut melahirkan manusia yang jiwanya kering, mereka dengan mudah dan seakan tanpa salah melakukan tindakan kriminal dan amoral. Pragmatisme ini juga menuntun manusia dalam bertindak supaya tidak menghiraukan hal yang sifatnya transenden.
Bahkan, kata Abbas, perilaku ini bukan hanya terjadi di kalangan umat, tapi terjadi juga di kalangan ulama. Secara ekstrem ia menyebut ulama-ulama tersebut telah menjual agamanya, dan mereka sudah kehilangan idealismenya sebagai muslim.