MUHAMMADIYAH.OR.ID, SEMARANG– Nilai-nilai kemanusiaan universal harus senantiasa hidup pada jiwa manusia. Menurut Haedar Nashir, nilai ini lebih-lebih harus dihidupkan ditengah perbedaan masyarakat yang begitu rupa.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menyebut, tidak gampang menjaga dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan ditengah perbedaan. Menjaga nilai ini lebih susah lagi dalam konteks bangsa, yang disebabkan retak akibat konflik politik, kesenjangan sosial, dan lainnya, yang kemudian oleh mereka dipanasi dengan `kompor gas`.
“Warga Muhammadiyah mestinya justru jadi penyiram, menjadi pemadam kebakaran dalam hidup kebersamaan.“ tuturnya pada Kamis (29/4) dalam Pengajian Semarak Ramadan 1442 H yang diadakan Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus).
Haedar meminta untuk dihidupkan kembali adagium-adagium kebersamaan yang telah menjadi budaya dan jiwa bangsa. Merujuk konsep homo sapiens, menurutnya manusia seharusnya bisa hidup dengan bekerjasama dalam segala perbedaan yang meliputinya. Tetapi manusia punya nafsu yang berpotensi merusak itu, sehingga nafsu yang perlu diluruhkan.
Selanjutnya, diantara sesama manusia juga tidak boleh saling tasakhar atau merendahkan. Bahkan dalam Islam juga dilarang memberi label yang memincu potensi pecah-belah, seperti Kadrun, Kampret dan lain-lain. Terkait dengan itu, Haedar merasa aneh dengan kebiasaan bangsa ini sekarang yang gemar memberikan laqab bertujuan menjelekkan.
“Padahal Kadrun (kadal gurun) itu tidak ikut milih waktu pemilu, tapi kok malah kita bawa-bawa, kasihankan. Termasuk cebong, kampret gitu kan. Mestinya sudahlah yang kaya gitu kita tidak usah terlibat,“ pesan Haedar.
Menurut Haedar, hal itu jika terus dilanjutkan akan menambah dosis perseteruan. Karenanya ia meminta, ditengah pusaran arus informasi yang begitu kuat, kader Muhammadiyah semestinya mengamalkan nilai-nilai luhur dalam berdakwah. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS An Nahl 125. Bukan malah terpancing dan ikut-ikutan panas, `loe jual gue beli`.
Pada kesempatan ini Haedar juga mengajak supaya kuat menahan marah, baik marah dalam politik, ekonomi, tetangga, dan bermu`amalah. Menurutnya, di masa sekarang ada yang bangga dengan sikap perkasa yang ditunjukkan melalui kemarahan dan garang. Padahal dakwah amar ma`ruf nahi mungkar tidak hanya ditunjukkan melalui sikap itu.
“Kalau banyak orang menentang (dakwah) kita, itu bisa jadi bukan karena isi yang kita bawa, soal pesan yang kita bawa, tapi cara yang kita pakai.“ imbuhnya.
Hal ini yang menjadi tantangan bagi dakwah Muhammadiyah, yaitu bagaimana orang bisa merasa nyaman dirangkul oleh Muhammadiyah, bukan dipukul. Haedar menegaskan, `politik mukul` itu biar menjadi milik politisi, warga Muhammadiyah diminta jangan ikut-ikutan. Warga Muhammadiyah harus merangkul umat yang beragam, supaya dakwahnya bisa masuk dan diterima.