MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dari segi nilai otentisitasnya, Hadis dibagi kepada tiga tingkatan, yaitu Hadis sahih, Hadis hasan dan Hadis dha’if. Dengan Hadis sahih dimaksudkan suatu Hadis yang bersambung sanadnya hingga sampai kepada Nabi saw, diriwayatkan oleh para perawi yang ‘adil (handal kualitas moral dan spiritualnya) dan dhabit (handal kapasitas intelektualnya) serta tidak mengandung kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illah). Jadi kriteria Hadis sahih itu ada lima, yaitu: 1) Sanadnya bersambung; 2) Diriwayatkan oleh perawi yang mempunyai kehandalan moral dan spiritual; 3) Juga memiliki ketelitian yang tinggi; 4) Bebas dari kejanggalan; dan 5) Bebas dari cacat.
Di bawah derajat Hadis sahih adalah Hadis hasan yang mempunyai kriteria seperti Hadis sahih di atas, kecuali kriteria nomor 3, di mana perawi Hadis hasan kurang handal dari segi kecerdasan dan kekuatan daya ingatnya dibandingkan dengan perawi Hadis sahih.
Jadi perbedaan Hadis hasan dengan Hadis sahih terletak pada ke-dhabitan (ketelitian, kecermatan dan kekuatan daya ingat) perawinya, di mana Hadis sahih perawinya amat teliti, cermat dan kuat daya ingatnya; sedangkan Hadis hasan kurang kecermatan, ketelitian dan daya ingat perawinya. Hadis hasan itu ada yang hasan dengan sendirinya dan ada pula hasan karena sebab lain, yaitu misalnya dia dha’if dengan kedha’ifan yang tidak sampai pada kepalsuan, ada indikasi kuat dari Rasulullah saw, sesuai dengan kaidah pokok Agama Islam dan banyak sanadnya. Hadis seperti itu merupakan Hadis hasan Ii ghainh (Hasan karena suatu sebab lain). Di bawah derajat hasan adalah Hadis.dha’if, yang oleh ulama Hadis diartikan sebagai hadis yang tidak memenuhi kriteria Hadis sahih dan hasan.
Perlu diketahui, bahwa klasifikasi Hadis kepada tiga tingkatan seperti di atas adalah pembagian yang dikenal oleh ahli-ahli Hadis yang agak kemudian. Dr. Subhi ash-Shalih menegaskan, bahwa Imam Tirmidzi-lah (w. 279 H) ahli Hadis pertama yang mencob.a mengisyaratkan adanya konsep Hadis hasan. Ulama-ulama Hadis yang awal, seperti Imam Ahmad (I&-241H), membedakan Hadis kepada dua tingkatan saja, yaitu Hadis sahih dan Hadis dha’if. Bagi mereka ini apa yang disebut Hadis hasan termasuk ke dalam kelompok Hadis dha’if. Jadi Hadis dha’if itu bertingkat-tingkat pula; ada yang dapat diterima karena kedha’ifannya tidak terlalu besar dan, seperti dikatakan tadi ada alasan-alasan yang mengharuskan kita menerimanya, misalnya jalur periwayatannya yang banyak, sesuai dengan kaidah umum agama dan seterusnya.
Dalam hubungan ini nrmang adaberkembang di kalangan sebagian orang ungkapan: Boleh mengamalkan Hadis dha’if untuk menerangkan keutamaan-keuatamaan amal. Ungkapan ini sendiri berkembang atau merupakan gema dari ungkapan lain yang serupa dinisbatkan kepada tiga ulama besar ahli Hadis dan Fiqh, yaitu lmam Ahmad (w. 241H), Abdur Rahman Ibnu Mahdi (w. 198 H) dan Abdullah Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) yang diriwayatkan sebagai mengatakan, “Apabila kami meriwayatkan Hadis mengenai halal dan haram kami mengetatkan periwayatannya dan apabila kami meriwayatkan mengenai keutamaan-keutamaan amal dan semacamnya kami melonggarkan periwayatan.”
Yang dimaksud oleh para ulama tersebut adalah bahwa dalam masalah halal dan haram (masalah hukum) mereka mengetatkan penyelesaian Hadis dan mereka hanya mengambil Hadis yang disepakati sebagai sahih. Akan tetapi dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalahmasalah di luar hukum, seperti masalah keutamaan amal dan akhlak mereka menerima juga Hadis-hadis yang tidak mencapai derajat sahih, tetapi tidak pula disebut dha’if yakni Hadis hasan.
Jadi dengan ungkapan di atas dimaksudkan bahwa Hadis dha’if dapat diterima untuk fadhilah dan keutamaan amal. Yang dimaksud adalah Hadis yang kedha’ifannya tidak terlalu besar; dengan kata lain, maksudnya adalah Hadis dha’if yang karenabeberapa alasan meningkat menjadi Hadis hasan Ii ghairih.
Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih, telah memutuskan 11 (sebelas) butir kaidah menyangkut Hadis (HPT, hlm. 300-301). Butir ke tujuh dari kaidah tersebut berbunyi: “Hadis-hadis dha’if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalur sanadnya dan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan ketetapan sumbernya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis sahih.”
Kehadiran kaidah ini memang sempat menjadi permasalahan di kalangan sebagian orang Muhammadiyah, karena kaidah ini dirasa bertentangan dengan bagian lain keputusan tarjih yang menyatakanbahwa sumber Agama Islam itu adalah al-Qur’an dan Sunnah Sahihah (HPT, hlm. 276). Mereka mengidentikkan Sunnah Sahihah dengan Hadis sahih dalam pengertian ilmu Hadis.
Dengan berpegang pada definisi Agama Islam yang bersumberkan kepada al-Qur’an dan Sunnah Sahihah dan dengan menolak kaidah Hadis dha’if yang dikutip di atas, sebuah Majelis Tarjih Wilayah di Jawa pada tahun 1973 memutuskan bahwa takbir salat ‘Ied itu hanya satu kali seperti salat biasa, tidak 7-5, karena takbir ganda (7-5) itu berdasarkan Hadis-hadis dha’if dan Majelis Tarjih Wilayah tersebut menolak Hadis dha’if sebagai hujjah walaupun banyak jumlahnya, dan mereka berpegang kepada Sunnah Sahihah (“SM” No. 9 th. Ke57,1977, hlm. 12). Sedangkan Majelis Tarjih Pusat berpendapat bahwa Sunnah Sahihah tidaklah identik dengan Hadis sahih dalam pengertian ilmu Hadis. Dengan Sunnah Sahihah dimaksudkan Sunnah Maqbulah (Hadis-hadis yang dapat diterima) walaupun tidak sampai pada tingkat sahih. Hadis-hadis yang banyak jalur sanadnya sehingga saling menguatkan dan karena itu menjadi Hadis hasan li ghairih.
Tahun 1977 diadakan diskusi panel tentang kaidah Hadis dha’if ini dan kesimpulannya adalah bahwa kaidah tersebut sudah benar dan dapat diterima dan karena itu tidak perlu direvisi. (“SM” No. l7l1977, hlm. 16). Kemudian kaidah tersebut dikukuhkan dalam Muktamar Tarjih sesuai dengan tuntunan Nabi di masa mendatang sebagai hasil jerih payah dakwah bil hal anda.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa: 1) Hadis dha’if tidak dapat dijadikan hujjah baik dalam masalah hukum, termasuk ibadah, maupun dalam masalah menerangkan keutamaan amal dan akhlak; 2) yang bisa dijadikan hujjah adalah Hadis sahih dan hasan, termasuk hasan li ghairih.
Hits: 799