MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya telah mengetahui adanya virus Covid varian Delta di Nusantara sejak awal tahun 2021.
Sayangnya, penemuan tentang varian Covid-19 yang paling berbahaya itu tidak diikuti dengan pengendalian peredaran masyarakat yang konsisten dan ketat. Fakta ini menurut Pandu muncul akibat pemerintah mengesampingkan penanganan pandemi dibanding faktor lain seperti ekonomi.
“Sebenarnya virus Delta pada awal bulan Maret ditemukan. Februari, Maret, April, Mei itu masih tidak terlalu besar. Tapi begitu terjadi mobilitas penduduk yang demikian masif yang dua kali lipat dibandingkan tahun yang lalu maka terjadilah penyebaran masif ke seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Pandu menyinggung pelonggaran mudik 2021.
Dalam forum LHKP PP Muhammadiyah Menakar Kebijakan PPKM, Rabu (21/7) Pandu menjelaskan bahwa meledaknya kasus di Kudus beserta tingginya tingkat kematian yang kemudian hampir terjadi di seluruh pulau Jawa adalah konsekuensi dari pelonggaran tersebut.
“Dan seharusnya waktu itu upayanya kalau betul-betul sudah ada tim nasional respon yang baik itu langsung dilakukan karantina wilayah di Kudus atau di Bangkalan tetapi kita sampai sekarang, mohon maaf bahwa kita nggak punya National Response Plan,” keluhnya.
“Ya kita nggak punya roadmap bagaimana mengatasi pandemi sehingga setiap respon adalah respon yang spontan, tumpang tindih. Jadi amburadul-lah. Jadi seperti acak-acakan kalau menurut saya. Ada begini langsung begini, ada sesuatu baru bereaksi, tidak mengantisipasi padahal untuk menangani pandemi ini butuh manajemen. dari awal kita harus punya manajemen bagaimana menghadapi pandemi,” kata Pandu.
“Kenapa demikian? kritikan saya adalah respon perintahnya tidak langsung dikendalikan oleh yang namanya sistem pemerintahan yang memang sudah ada gitu, tapi didelegasikan dulu kepada yang namanya gugus tugas, kemudian menjadi komite penanggulan ekonomi dan pemulihan ekonomi nasional, jadi seperti di ad hoc-kan,” imbuhnya.
“Nah ini yang menjadi kendala. Setiap panitia ad hoc itu tidak punya tupoksi yang bagus, yang regulasinya sesuai. Padahal ini kesempatan untuk membangun sistem pemerintahan yang andal dalam menghadapi pandemi,” terang Pandu.
Masalah lain, menurut Pandu adalah tidak jelasnya komandan dalam penanganan pandemi. Akibatnya, program nasional justru lebih banyak yang tidak efektif dan mubazir.
“Sayang sekali gitu. Sayang sekali karena akhirnya kita bingung siapa yang melaksanakan? Apalagi kalau KPCPEN fokusnya lebih mengarah ke konsep supaya pemulihan ekonominya tetap berjalan. Padahal, semua negara menghadapi hal yang sama. Yang paling penting adalah pengendalian pandemi dulu, ekonomi yang di situ (biar) terus berjalan. Jangan mengharapkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi sehingga kemudian kita bisa secara sustain mengendalikan penularan,” pungkasnya.