MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ontologi membahas apa yang ingin diketahui mengenai teori tentang “ada“. Pembahasan ini setua peradaban manusia sejak zaman Yunani Kuno hingga saat ini. Dalam tradisi filsafat Islam biasanya dikenal dengan sebutan “wujud”. Menurut Syamsul Anwar terdapat perbedaan tentang hakikat wujud antara ahli tasawuf dan ahli filsafat.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menjelaskan bahwa ahli tasawuf mengatakan “yang ada” itu hanya satu dikenal dengan paham “wahdatul wujud”.
Paham ini mengenalkan bahwa wujud hanya ada satu yang ditempati Allah dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud.
Sementara ahli filsafat dan kalam mengatakan “yang ada” itu dua atau dikenal dengan “tsunaiyatil wujud”. Dalam pandangan mereka, wujud memiliki dua bentuk, yaitu: wujudul muthlaq dan wujudul khalqi. Wujudul muthlaq hanya ditempati oleh Allah sebagai Pencipta dan wujudul khalqi adalah semua makhluk ciptaan Allah.
Tidak terlalu penting mana yang paling benar apakah wujud itu satu atau dua, sebab kata Syamsul, aspek terpenting justru pada level aksiologisnya. Golongan yang mengatakan wujud hanya ada satu yaitu Allah, sementara benda-benda lain dianggap bayangan, maka konsekuensi aksiologisnya akan melahirkan sikap anti dunia dan menganggap kehidupan ini kotor.
“Bagi mereka ini dunia dianggap tidak penting. Bagi Muhammadiyah dunia ini penting. Dunia ini suatu rahmat Tuhan yang diberikan dan tugas manusia sebagai khalifah untuk membangunnya menuju kepada kehidupan yang lebih baik,” terang Syamsul dalam acara Sosialisasi dan Kunjungan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada Jumat (07/5).
Dengan demikian, kata Syamsul, Muhammadiyah lebih condong atau sejalan dengan pandangan para filosof yang menegaskan bahwa wujud memiliki dua bentuk yaitu Allah dan makhluk-Nya. Dalam bahasa Ibnu Sina disebut dengan wajibul wujud dan mumkinul wujud.
Wajibul wujud adalah sesuatu yang wujudnya niscaya atau harus ada tanpa membutuhkan sesuatu yang lain. Ia tidak bermula dan tidak berakhir atau qadim. Sementara mumkinul wujud adalah sesuatu yang wujudnya membutuhkan faktor lain. Ia memiliki kisah berawal dan berakhir atau hadist.
Konsekuensi aksiologis paham “tsunaiyatil wujud” akan melahirkan sikap bahwa dunia merupakan panggung kehidupan untuk mencapai prestasi terbaik di akhirat. Sehingga mereka harus memaksimalkan potensi akalnya bukan hanya untuk menciptakan kemasalahatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat.