MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Kelompok milenial dikenal sebagai generasi yang memiliki pemahaman terbuka dan dominan dalam berinteraksi lewat teknologi digital.
Termasuk dalam urusan keagamaan, kelompok milenial dikenal aktif mencari informasi baru, mandiri dan memiliki berbagai macam pertanyaan unik terkait masalah agama.
Fenomena ini menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah adalah masalah serius yang tak boleh diacuhkan oleh para mubaligh berpaham moderat.
Sebab, jika tak dihadapi dengan baik, mereka cukup potensial untuk lari kepada pemahaman keagamaan yang tekstualis dan radikal.
“Pertama, kalau kita lihat dari beberapa kajian, misalnya Pew Research Center, lalu bukunya Twenge soal I generation itu menunjukkan betapa anak-anak muda itu dalam keberagamaan cenderung loose (longgar),” kata Mu’ti dalam diskusi di Kanal Convey Indonesia, Jumat (23/7).
“Longgar dalam dua pengertian kalau saya baca riset. Pertama, mereka tidak terlalu menjadikan agama sebagai really serious business. Kalau di Amerika kan malah hanya sekitar 60 persen saja anak-anak muda yang meyakini agama itu perlu, yang lainnya menganggap tidak perlu,” terangnya.
“Yang kedua, loose dalam pengertian mereka tidak terlalu fanatik terhadap satu faham agama tertentu dan terutama ketika itu dikaitkan dengan tren dalam dunia yang semakin global. Walaupun itu ada sebagian kecil yang begitu sangat tekstual dan kemudian ekstrim, menjadi kelompok-kelompok yang sangat ekstrim. Tapi mayoritas adalah loose,” imbuhnya.
Fenomena pemuda yang tidak terbimbing itu menurut Mu’ti diperkuat dengan karakter mereka yang dekat dengan teknologi sehingga pendekatan dakwah kepada mereka tidak boleh menggunakan cara-cara lama yang kaku dan doktrinal.
“Memang day to day mereka ini memang akrab dengan media sosial, dan mereka menjadi native user terhadap teknologi ini. Kalau seperti saya ini kan grand user, bukan pengguna asli, sehingga keahlian dan kecanggihannya menggunakan memang sangat berbeda,” jelasnya.
“Problem yang ketiga kemudian adalah mereka ini dari sisi psikologis adalah kelompok yang sangat suka dengan hal yang baru. Itu menjadi bagian dari kecenderungan psikologis bahwa anak-anak muda ini challenge tradition dan kedua mereka juga cenderung suka mencoba sesuatu yang baru,” terang Mu’ti.
Sebagai solusi, Mu’ti menyarankan agar para mubaligh dakwah banyak memberikan informasi alternatif yang menarik di media sosial sehingga pandangan terhadap keberagaman pun ikut terbangun. Tak lupa, para mubaligh juga harus bersifat sabar dan mengayomi.
“Karena itu kehadiran orangtua, pendidik, guru, kehadiran para tokoh agama ini memang menjadi sangat diperlukan untuk memastikan keberagamaan mereka ini dapat dipandu dan difasilitasi ke arah yang lebih progresif, ke arah kehidupan yang lebih aman dan ke arah kehidupan yang bisa mendatangkan kemajuan. Kira-kira begitu,” tutupnya.