Oleh. MS. Anwar Sandiah
Bagi setiap mukmin, alam adalah tanda keagungan ilahiyah. Di balik keserasian, keseimbangan dan keteraturan alam semesta, terdapat rahasia penciptaan. Dari sanalah, setiap manusia diminta merenungkan hakikat keberadaannya. Untuk apa manusia hadir di muka bumi. Apa tanggungjawab mereka. Dan mengapa mereka dijanjikan kemuliaan khusus di antara sekian banyak makhluk. Serta kenapa Allah berulang kali dalam Al-Qur’an menyuruh manusia mengambil petunjuk kehidupan dari simbol-simbol alam.
Seorang aktivis lingkungan muslim di Amerika Serikat, penulis buku Green Deen bernamaIbrahim Abdul-Matin mengatakan tauhid adalah prinsip kesatuan manusia dengan ekosistem. Manusia adalah bagian dari rangkaian kehidupan. Manusia bukan penguasa, dan tidak akan pernah menjadi tuhan. Maka ketika Fir’aun mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa jagat bumi, ia disebut telah “melampaui batas.” Jelas bahwa penegasan diri yang salah kaprah seperti itu bertentangan dengan nilai ekosentrisme yang ada dalam ajaran tauhid Islam. Dan siapa pun yang mendaku demikian disebut telah tertutup hati, pendengaran dan penglihatannya atas kebenaran.
***
Ramadan tahun ini sungguh penuh ibrah. Manusia dihadapkan pada dua pintu hikmah yang penting. Pertama adalah bahwa kiamat iklim bukanlah suatu halusinasi dan delusi. Karena tepat Ramadan tahun lalu, kita mengalami peningkatan suhu bumi sebesar satu derajat. Kedua adalah wabah penyakit, bencana dan ancaman krisis pangan. Dua kejadian itu tidak terpisah. Saling berhubungan. Kiamat iklim ditandai dengan suhu ekstrim bumi dan pergeseran tabiat reaksi ekosistem. Musim panas jadi musim hujan. Musim kemarau jadi musim banjir. Kita tiap hari menghirup polusi kimia. Kita tiap hari memakan partikel plastik.
Bersamaan dengan itu, ketersediaan pangan dan air bersih sudah masuk tahap gawat darurat. Ada atau tidaknya wabah coronavirus, masalah kesehatan global kita berada di ujung tanduk. Kematian akibat busung lapar, keracunan, dan pencemaran lingkungan. Virus seperti Covid-19 hanya memberitahu kita bahwa manusia bukan apa-apa.
Dua ibrah besar yang kita hadapi itu memunculkan pertanyaan. Apakah cara hidup kita sudah sesuai dengan tuntunan Islam? Bukankah dalam Islam pokok utama kewajiban manusia adalah mencegah kerusakan bumi? Bukankah Nabi Muhammad Saw mencontohkan tata cara hidup yang memuliakan lingkungan? Sudah lupakah kita, umat Islam, pengikut Nabi Muhammad? Telah jauhkah kita meninggalkan ajaran-ajaran penting Islam untuk menjaga keseimbangan ekosistem? Padahal inilah yang telah diperingatkan Allah dalam surat al-Azhab ayat 72 yang berbunyi: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat pada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”
Islam adalah amanat Allah kepada Manusia. Suatu prinsip dan tata cara hidup yang menegaskan peran manusia sebagai khalifah. Khususnya bagi orang-orang yang dengan penuh keimanan telah berkata bahwa “sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah.” Syahadat yang telah diucapkan kaum beriman adalah janji dan komitmen. Maka sebagai janji, sudah patutlah kita dengan sekuat tenaga, bersungguh-sungguh dan tekun menunaikan janji itu. Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk menyembah pada-Nya.
***
Alam menampakkan kerapihan, ketelitian dan kombinasi hukum alam yang sebagian besarnya belum bisa kita jelaskan. Alam diciptakan Allah SWT memiliki kekuatan dan daya keseimbangan nan rapih. Menampakkan proses penciptaan yang sangat teliti. Memperlihatkan kepengaturan sehingga sungguh tak mungkin terjadi kesalahan sekecil apa pun dalam proses putaran sesuai fungsi ditetapkan. Lihatlah tinggi langit. Memiliki konstruksi amat canggih tak mudah runtuh hancur berantakan.
Ini bukti sebuah keseimbangan ciptaan dari sang Maha Teliti. Hitungan yang terukur dan walau berganti siang dan malam tak ada mempengaruhi sedikit pun berubah kedudukan langit bergeser kecuali sesuai ketentuan telah ditentukan. Bangunan langit seakan mengajak fikir dan dzikir manusia untuk menelaah ayat-ayat kauniyah lebih cerdas lagi untuk mengukuhkan tanggungjawabnya merawat bumi secara istiqomah.
Jika manusia mau sadar menggunakan nalar yang bersih dan suci, betapa tak terhingga jumlah bintang di langit. Apabila tak memiliki keseimbangan yang tertata dan terukur maka sudah pasti tak seindah yang biasa kita nikmati. Malam kilau bintang menghias langit.
Naudzubillah, keindahan itu tiba-tiba berubah keseimbangan, saat terjadi tabrakan antara bintang mengguncang dahsat seisi alam semesta, tentu manusia menyaksikan penuh ketakutan tanpa ada pertolongan, harus kemana berlari mencari perlindungan? Dzikrullah sebelum semua itu terjadi.
***
Mari kita pergunakan fikir. Betapa dahsatnya keseimbangan alam. Sinar matahari turun ke bumi tertata dan terukur kadar terik panaanya. Kalaulah bukan karena ada keseimbangan tertata dan terukur tentu panas matahari menjadi liar dan tak hitung detik terjadi kebakaran dahsat menyeluruh dan meratakan bumi dihuni mahluk manusia tak pilah mana yang kufur dan taqwa. Sekali lagi kemana lari mencari perlindungan?
Kisah berlanjut bila bumi tak memiliki keseimbangan tertata dan terukur memikul milyaran beban bangunan pencakar langit dengan konstruksi beton baja. Belum lagi jutaan pohon tumbuh membebani daya pikul bumi, maka tak perlu menunggu waktu hitungan sepuluh jari tangan manusia akan terjadi kegoncangan. Tanah runtuh bersama bangunan seluruhnya masuk ke dalam tanah sebagaimana kisah Qorun bersama harta kekayaannya terperosok ke perut bumi.
***
Mari genggam rahmat Allah atas nikmat air asin dan air tawar. Yang tertata dan terukur kadarnya masing-masing. Sehingga tidak terjadi pencampuran kedua jenis air ini. Dan keduanya sungguh istiqomah jalani fungsi takdir sebagai bentuk ketaatan kepada yang menciptakan mereka. Dinukilkan dalam firman Allah: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi” (QS. 25: 53). Itulah Fenomena alam (air asin dan air tawar) yang bisa disaksikan di selat Gibraltar.
Menikmati bulan purnama di lima belas malam Ramadan adalah bentuk proses keseimbangan terukur dan tertata rapih, mestinya jadi perenungan manusia kembali bersyukur atas nikmat keindahan alam dihiasi bulan purnama. Bagaimana bila tiba-tiba bulan purnama hilang dari peredarannya? Tentu suasana menjadi gelap gulita. Di saat yang sama terjadi ledakan dahsyat mengerikan bagi manusia di atas langit. Pupus sudah tak terulang lagi suasana khidmat pada bulan purnama. Masihkah ada peluang manusia melihat keindahan itu?
Sudah berulang peringatan datang dari bumi untuk umat manusia. Betapa ngeri jika tidak ada keseimbagan tertata apik antara kepentingan tanah, air dan tumbuhan. Hujan tak kan lagi turun dari langit, akan terjadi kekeringan, pertanda air di perut bumi kehabisan dan hijau dedaunan pohon mengering, tak lagi produksi oksigen (O2). Saat itu barulah manusia sadar bahwa tumbuhan, air dan tanah amat sangat berguna bagi hidup manusia. Tapi semua sudah terlambat tinggal menunggu jemputan maut. Itulah kelalaian, kezaliman dan kebodohan manusia yang serakah merusak bumi dan segala isinya.
*Penulis adalah mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Utara.
Editor: Fauzan AS