MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968. Semenjak kecil, Kyai Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya yaitu Kyai Abu Bakar.
“Muhammadiyah lahir tidak lepas dan bahkan dibidani serta memperoleh inspirasi yang kuat dari tokoh sentral pendirinya yakni Kh. Ahmad Dahlan. Beliau merupakan sosok santri yang dasar pendidikan agamanya adalah tradisional,” ungkap Haedar Nashir pada Kamis (27/05).
Meski berlatar belakang tradisional, Haedar mengungkapkan Kyai Dahlan justru menjadi tokoh pembaharu paling penting pada awal abad ke-20. Dalam perjalanan hidupnya, Kyai Dahlan dua kali bermukim di Mekkah. Di sana, ia mendapatkan banyak inspirasi serta wawasan yang semakin luas dalam memandang dunia.
“Darwis yang menjadi Ahmad Dahlan telah menjadi tonggak baru dalam sejarah pergerakan Islam di awal abad ke-20. Dengan latar belakang kehidupan Kauman, Yogyakarta, yang juga melekat dengan Kraton, Kyai Dahlan tidak lepas dari budaya Jawa,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Latar belakang budaya ini telah menjadi kekhasan Kyai Dahlan sebagai tokoh Islam dan tokoh pembaharu yang memberi warna pada pergerakan Muhammadiyah. Menurut Haedar, dalam akidah, Kyai Dahlan beraliran Ahlu Sunah wa al-Jamaah, dalam fikih merujuk pada Imam Syafii dan Hambali, tapi beliau juga berisan dengan pemikiran Salafiyah yang diperkenalkan Ibnu Taimiyah melalui kitab-kitabnya.
Akan tetapi, Haedar menegaskan bahwa Kyai Dahlan lebih banyak meluangkan waktunya membaca tulisan-tulisan Muhammad Abduh. Di antaranya, Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Al-Manar, Al-Islam wa al-Nashraniyah, dan Risalat al-Tauhid. Selain karya Abduh, Kyai Dahlan juga membaca tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afghani yang dimuat di jurnal al-Urwah Al-Wustha.
Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan juga bersentuhan dengan ilmu tasawuf terutama melalui alam pikiran Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Tak lupa pula Kyai Dahlan membaca tulisan Ibnu Batutah yang merupakan laporan perjalanannya keliling dunia dalam kitab Kanz al-Ulum. Bahkan ia sempat menikmati tulisan Rahmatullah Al-Hindi.
“Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan tentu terus berkembang sesuai dengan interaksi beliau ketika di Mekkah, termasuk berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Tentu rujukan-rujukan tersebut memberi warna pada alam pikiran Kyai Dahlan,” tegas Haedar.