MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA— Dalam mendekati realitas, menurut Prof. Amin Abdullah menyebut saat ini tidak bisa lagi didekati dengan monodispilin dan linieritas yang ‘over spesialisasi’. Karenanya dibutuhkan pendekatan yang Multidisipliner, Interdisipliner, dan Transdisipliner (MIT).
Cendikiawan Muslim ini menerangkan, sebetulnya spesialisasi tidak masalah akan tetapi itu menjadi masalah apabila terjadi over spesialisasi, karena bisa menajdikan ‘miopik’ atau dalam memandang realitas tidak luas, karena hanya sebatas dengan keilmuannya saja.
“Itu yang menjadi keprihatinan dan itu yang harus disampaikan terus menerus,” ungkapnya pada Kamis (25/2).
Pada abad 21 ini, kata Amin Abdullah, yang paling berat dihadapi termasuk dalam bidang agama adalah bagaimana MIT ini bisa ‘menjebol’ habit of mind, karena problem yang dihadapi di era distrupsi begitu luar biasa.
Maka yang harus ditawarkan saat ini bukan hanya problem solving tapi sudah harus kompleks problem solving. Sementara itu, selain fisik dan pemikiran yang akan dihantam pada abad ini adalah sisi emosi manusia. Terkait hal ini ia menyarankan untuk lebih memperkuat sisi irfani manusia.
Alumni Ponpes Modern Gontor ini menjelaskan, di awal dirinya mengenalkan irfani di Muhammadiyah banyak mendapatkan kritik. Diantara kritik yang ditujukan padanya saat itu menyebut bahwa, pendekatan irfani dianggap dari Syi’ah. Namun dirinya berhasil menyakinkan bahwa, ini berasal dari khazanah intelektual Islam klasik yang paling berharga.
Menghadapi era sekarang ia menyarankan supaya manusia memiliki kognitif fleksibelity. Menurutnya, jika manusia berilmu tapi kaku akan menyebabkan kehilangan dan memudarnya keilmuan yang dimiliki. Karena kekauan tersebut akan cenderung memiliki sikap yang enggan menerima kebenaran dari luar dirinya.
Karena itu ia mendukung gagasan merdeka belajar, namun ia memberi catatan bahwa, mahasiswa yang belajar di luar program studinya harus berada di luar rumpun bidang keilmuannya. Menurutnya jika mahasiswa yang menerapkan merdeka belajar tapi tetap dalam satu rumpun ilmu, tidak akan berdampak banyak.
“Padahal yang kita inginkan itu pertemuan antara sains, humanity, dan sosial,” imbuhnya.
Termasuk dalam women studies juga tidak bisa didekati dengan monodisiplin, atau tidak boleh didekati melalui teks semata dan sains atau objektif saja, tetapi mesti harus memerlukan intersubjektif atau hati nurani.