MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA — Haedar Nashir kepada Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan peserta Taruna Melati Utama (TMU) amanatkan supaya dalam berorganisasi pada tingkat ortom bukan hanya dijadikan sebagai tempat menyerap materi, tetapi juga harus ada pelibatan rasa-irfani.
Hal tersebut disampaikannya pada Kamis (19/11) dalam acara TMU Nasional yang diadakan PP IPM secara virtual. Menurutnya, aktivisme pada tingkat Ortom adalah bagian dari membangun kematangan sebagai kader. Melalui pengkaderan formal, Haedar percaya bahwa dikemudian hari para pelaku akan bisa memaknai proses yang telah dilewati.
Haedar menjelaskan, meskipun jenjang pengkaderan dilakukan dengan rileks karena mengunakan media sosial, tapi substansi dan tujuan yang ingin dicapai tidak boleh dikesampingkan. Mengapai tujuan tersebut, tambah Haedar, dibutuhkan sikap disiplin. Karena disiplin merupakan bagian dari semangat Al Ashr, itulah yang harus dimiliki oleh para kader.
Di dalam ber-IPM dan ber-Muhammadiyah, terdapat tiga hal yang perlu menjadi modal sekaligus landasan pemikiran dan sikap serta orientasi tindakan kader. Satu, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan tentang Islam. Dalam dunia Islam, tauhid sama. Tetapi pandang tentang Islam dan model penghayatan, serta pengamalannya itu beragam.
“Islamnya satu, tetapi pemahaman dan pengamalannya beragam. Ada hal-hal di mana tentu terdapat banyak kesamaan dan titik temu dalam memahami Islam. Tetapi ada hal yang berbeda, apalagi yang bersifat ijtihad,” kata Haedar.
Karena itu jika sudah menjadi IPM dan anggota Muhammadiyah, maka pemahaman keislamannya harus benar, komprehensif, dan kaffah dalam makna dan aspeknya dalam memahami Islam.
Islam dalam kerangka pemahaman Muhammadiyah adalah agama yang diturunkan Allah mulai dari nabi awal sampai nabi akhir zaman, dan agama yang dibawah oleh Nabi akhir zaman itu terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah yang maqbullah. Yang berisi dengan perintah, larangan, dan petunjuk untuk keselamatan dunia dan akhirat.
“Terakhir wahyu itu terkandung dan diturunkan dalam bentuk Al Qur’an. Maka Al Qur’an adalah kitab suci yang final, sempurna dan mengkoreksi kitab-kitab Islam sebelumnya.” Imbuhnya
Al Qur’an sebagai Kitab Suci agama Islam itu komprehensif, meyangkut ibadah, akhlak, dan muamalah duniawiyah. Termasuk jika Muhammadiyah merujuk kepada Sunnah, maka harus mencapai kriteria yang sudah makbullah baik matan maupun sanad-nya. Maknanya, sebagai kader Muhammadiyah dalam memahami Al Qur’an dan Sunnah harus jelas, mendalam, dan tidak parsial.
“Kader-kader IPM harus belajar Al Qur’an secara komprehensif dan mendalam, juga belajar Sunnah Nabi secara komprehensif dan mendalam.” Ucapnya
Sementara, cara memahami kedua entitas tersebut kata Haedar, adalah dengan bayani, burhani, dan irfani. Secara bayani adalah memahami Al Qur’an melalui teks, artinya ayat satu dipahami dengan ayat lain. Dan burhani adalah memahami ayat dengan pendekatan akal, ilmu pengetahuan, dan konteks.
Serta, pendekatan irfani adalah memahami Al Qur’an dengan pendekatan ruhani. Karena aspek Islam itu terdapat sisi ruhaninya.
Dalam berdakwah Muhammadiyah memiliki pemahaman amar ma’ruf nahi mungkar. Perlu diingat, karena pemahaman ini bagian dari dakwah maka harus dilaksanakan dengan bil hikmah wal mauidhatil khazanah wa jadilhum bi latihi hiya akhsan. Maka amar ma’ruf nahi mungkar tidak sama dengan jihadi, karenanya berdakwah tidak asal ‘hantam kromo’.
Kedua, pelajari kemuhammadiyahan. Menurut Haedar, belajar kemuhammadiyahan bagi setiap kader IPM adalah suatu keharusan. Selain dibelajari, muatan kemuhammadiyah harus dipraktekan dan menyebarluaskan dakwah tajdid/pembaharuan. Tidak boleh anak-anak IPM memiliki pemikiran yang konservatif, karena pemikiran-pemikiran Muhammadiyah sudah sangat maju.
“Kader tidak boleh memiliki pandangan miopik, karena Muhammadiyah memiliki pandangan modernis-reformis.” Tuturnya
Untuk itu, Haedar berpesan kepada kader Muhammadiyah untuk senantiasa membaca dan menjadikan membaca sebagai habitusnya. Menurutnya, untuk memperluas horizon pengetahuan, semua buku harus dibaca, tidak boleh hanya membaca yang sesuai dengan pandangannya semata. Namun kemudian ambil yang terbaik, dan tetap kembali ke Muhammadiyah.
“Jadi apapun nanti, di manapun alumni IPM tetap membawa misi integritas keislaman dan kemuhammadiyahan yang berkemajuan dan berintegritas dan berakhlak mulia.” Ujarnya
Ketiga, Kepada kader-kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) setelah menempuh bangku pendidikan mulai dari strata 1 sampai 3, silahkan bekerja dan berkiprah kemana saja. Muhammadiyah tidak pernah membatasi orangnya untuk berprofesi, untuk mengembangkan karir, dan berkiprah di mana saja. Asalkan memegang kunci, akhlak, wawasan maju, dan memberi manfaat.
Kunci tersebut harus menjadi pembeda yang harus dimiliki oleh kader IPM, termasuk kader Muhammadiyah pada umumnya. Sehingga kader tidak boleh cupet, jadi tidak boleh pandangan cupet diwariskan kepada kader-kader setelahnya. Pandangan sempit kader Muhammadiyah harus dihilangkan, karena dalam setiap profesi memiliki sisi gelap dan terang. Karenanya kader Muhammadiyah dituntut harus punya percaya diri untuk terjun dan berkiprah dimana saja.
“Dan bedanya politisi kader IPM dan kader Muhammadiyah akan berbeda denganyang lain, kan keren.” Katanya
Menurut Haedar, kiprah kader Muhammadiyah di luar persyarikatan tidak akan melunturkan muru’ahnya. Tapi semua harus dengan seksama dan membawa manfaat, hal ini sesuai dengan perintah KH. Ahmad Dahlan. Serta sebagai kader IPM, harus senantiasa memupuk rasa persaudaraan. Perbedaan di setiap kader adalah keniscayaan, namun kader harus senang dan saling mendukung jika kader yang lain maju dan berkembang.
“Tidak boleh memupuk kecurigaan dan asumsi-asumsi stereotype, stigma. Senang saudara maju, maka kita juga akan ikut maju.” Tuturnya
Haedar berpesan, kedepan supaya kader Persyarikatan tidak boleh asal-asalan dan pas-pasan, karena zaman sekarang akan berbeda dengan yang akan datang. Sehingga peran kader dalam persyarikatan mampu mendinamisasi gerakan, gagasan, dan amalan.