Hibah sejenis dengan sedekah yang memberikan suatu harta untuk orang lain. Hibah dibolehkan dalam ajaran agama Islam. Hikmah dari bolehnya hibah adalah terjalinnya rasa kasih sayang antara yang memberi dan diberi. Biasanya harta yang dihibahkan merupakan suatu yang besar sehingga memperlukan perhatian khusus. Lalu apakah sajakah ketentuan dalam hibah ?
Fatwa Majelis Tarjih yang bernekaan dengan masalah hibah yang terdapat pada rubrik fatwa agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 2 tahun 2010. Di dalam fatwa tersebut menyatakan bahwa hibah merupakan suatu persembahan yang bersifat Tidak ada sebab atau musababnya) tanpa ada prestasi dari pihak penerima. Pemberian itu berlangsung ketika pemberi masih hidup. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku II Bab I Pasal 171 butir g komentar bahwa hibah adalah mempersembahkan suatu benda secara sukarela tanpa ketidakseimbangan dari seorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Hibah dituntunkan dalam agama Islam, karena hibah dapat menciptakan kerukunan dan mempererat rasa kasih sayang antar umat manusia. Anjuran untuk melakukannya antara lain:
1. Hadits riwayat al-Baihaqi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَهَادَوْا تَحبابُّويا
Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Baihaqi)
2. Hadits riwayat Ahmad dan ath-Thabrani:
عن خالد بن عدي الجهني رضي الله عنه: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من بلغه معروف من أخيه من غير مسألة, ولا إسراف فليقبله, ولا يرده, فإنما هو رزق ساقه الله إليه (رواه أحمد والطبراني)
Artinya : “Diriwayatkan dari Khalid bin ‘Adi al-Juhaniy radhiyallahu’ anhu aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa mendapatkan, dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapan dan tidak berlebih-lebihan , maka ia menerimanya dan tidak karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya. ” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani)
Hibah merupakan akad muamalah yang memiliki syarat-syarat tertentu yakni:
- Harta yang dihibahkan sudah ada jika dilakukan hibah
- Harta yang dihibahkan berasal dari milik penghibah
- Harta yang dihibahkan harus pasti dan diketahui
- Pelaku harus sehat jiwa / akalnya dan sudah dewasa
Hibah menjadi batal bila dilakukan dengan paksaan. Ijab dan kabul akan dilakukan dengan lisan, tulisan, dan perbuatan.
Sesuatu yang telah dihibahkan tidak boleh dijual lagi oleh penghibahnya. Namun terdapat pengecualian untuk hibah orang tua kepada anaknya, di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dibahas tentang kebolehan hibah ditarik, hal tersebut diatur dalam pasal 212 yang berbunyi “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya”. Pada pasal ini izin bahwa orang tua berhak kembali hibah yang telah diberikan kepada anaknya.
Hibah sebaiknya dibuatkan surat hibah yang jelas karena kejadian ini adalah sesuatu yang penting dan dapat mendatangkan kesalahpahaman jika tidak jelas. Hal ini dituntunkan syariat (QS. Al-Baqarah:282). Jangan sampai hibah menjadi masalah di kemudian hari karena ketidak jelasanya sehingga harus berujung dengan menerapkan jalur hukum. Hibah seharusnya mendatangkan kasih sayang seperti kasihan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits di atas, sungguh ironis jika yang terjadi kemudian adalah lahirnya perselisihan dan putusnya silaturrahim.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 03, 2014 dengan penyesuaian
sumber :