MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Salah satu identitas yang lekat dengan Muhammadiyah adalah gerakan ta’awun, sikap tolong-menolong, sikap saling membantu, dan sikap saling mendukung yang bukan hanya disampaikan kepada internal persyarikatan, tapi juga untuk umat yang lain.
Demikian disampaikan oleh Hilman Latief pada (21/3) dalam Pengajian Bulanan RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Gerakan ta’awun merupakan turunan dari semangat Al Ma’un yang dicanangkan sejak awal berdirinya Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan. Dalam surat Al Ma’un, terang Hilman, terdapat 4 variabel atau kategori seseorang dikatakan sebagai penista agama.
Variable pertama adalah orang yang tidak memiliki kepekaan untuk melindungi yang lemah, dalam surat ini disimbolkan dengan istilah yatim. Ketua PP LazisMu ini menjelaskan, istilah yatim merupakan simbol untuk mewakili kelompok lemah, dhu’afa, dan mustadh’afin.
“Orang yatim adalah orang dhaif (lemah) karena tidak ada lagi otoritas yang memberikan proteksi dirinya,” tuturnya
Hilangnya proteksi yang awalnya diberikan oleh orang tua biologis, kemudian bergeser ke ‘orang tua sosial’. Jika ditarik lagi kedalam Surat Al Ma’un, maka orang beragama juga orang yang memberikan proteksi kepada kaum yang lemah.
Variable pertama ini sifatnya luas, karena orang mustadh’afin juga bisa dimaknai sebagai orang yang dilemahkan oleh sistem sosial, ekonomi, dan politik yang ada disekitarnya. Bahkan anak yang ada orang tua biologisnya, tetapi tidak mendapatkan proteksi yang memadahi itu juga masuk dalam kategori yatim.
“Oleh karena itu ini menarik, bagaimana ayat ini penuh simbol,” ungkapnya
Tafsir Progresif Makna Miskin dalam Al Ma’un ayat 3
Variable kedua adalah orang yang tidak memberi makan kepada orang miskin. Artinya ada unsur sosiologis, yaitu terkait dengan sensifitas orang terhadap lingkungannya. Sehingga bagi orang beriman mutlak baginya memiliki sensifitas terhadap orang-orang yang membutuhkan disekitarnya.
“Miskin itu secara umum bisa jadi orang yang mempunyai penghasilan, namun penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan dasarnya”. Ujarnya
Kebutuhan dasar itu meliputi pangan, sandang, dan papan. Mengulas cara KH. Ahmad Dahlan dalam mengumpulkan anak-anak dalam kategori miskin, kata Hilman, tidak hanya terbatas kepada mereka yang yatim. Bahkan Kyai Dahlan juga mengumpulkan anak jalanan, yang mungkin secara biologis memiliki orang tua.
“Pangil mereka, kumpulkan mereka berikan oleh mu sabun, berikan oleh mu pakaian, dan berikan makanan yang enak-enak,” kutip Hilman menirukan Kiyai Dahlan.
Menghadapi segala dinamika perubahan zaman, Hilman berharap bisa memiliki definisi yang kuat dan sah tentang apa itu miskin. Merujuk kepada definisi yang dicontohkan oleh Kiyai Dahlan, bahwa miskin bukan hanya terkait dengan kurangnya pangan, sandang, dan papan. Tetapi juga memasukkan unsur lain, yaitu pendidikan dan kesehatan.
“Karena itu ketika kita membaca Oxford Multidimensional Povert, kemiskinan multidimensional versi oxford university, bahwa yang miskin itu bukan lagi pangan, sandang, papan. Tetapi justru di situ masuk masalah pendidikan dan kesehatan,” urainya.
Variable selanjutnya kategori seseorang dikatakan sebagai penista agama adalah orang yang lalai terhadap salatnya, dan variable keempat adalah orang yang berbuat ria.