MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Munir Mulkhan menilai terbentuknya Majelis Tarjih tahun 1927 dianggap sebagai penanda masuknya fase ideologis di lingkungan persyarikatan. Sejak inilah Muhammadiyah mulai membicarakan persoalan-persoalan hukum agama. Sebelum adanya Majelis Tarjih, Muhammadiyah berada di fase kreatif-insklusif yang ditandai oleh kelahiran berbagai kegiatan terlembaga yang dipelopori langsung oleh KH Ahmad Dahlan.
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa sebelum Majelis Tarjih terbentuk, persyarikatan belum menyentuh ranah fikih, namun lebih dikenal sebagai gerakan pelayanan umat. Praktek keagamaan yang dijalankan masih mengikuti pandangan mainstream paham keislaman pada umumnya. Misalnya, salat subuh masih disertai dengan qunut, jumlah rakaat salat tarawih 20 rakaat, dan masih menggunakan “sayyidina” dalam ucapan shalawat kepada Nabi Saw.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi mengatakan bahwa meksipun Majelis Tarjih belum ada secara resmi, tidak berarti bahwa pada masa-masa tersebut Persyarikatan sepi dari aktivitas ketarjihan (ijtihad). Sebagai sebuah gerakan reformis, Muhammadiyah sejak awal memang kerap berbenturan dengan tradisi-tradisi yang dianggap tidak sejalan dengan spirit al-Qur’an dan al-Sunnah. KH. Ahmad Dahlan sendiri sempat dituduh kafir karena beberapa pendapatnya ihwal keagamaan.
“Bahkan KH. Ahmad Dahlan sendiri terlibat dalam pemecahan masalah-masalah agama. Selama periode kepemimpinannya, pendapatnya mewakili dan diidentikkan dengan pendirian resmi organisasi,” tutur Ruslan dalam acara Sekolah Tarjih di Kompleks Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Selasa (16/11).
Karenanya, meski fokus Muhammadiyah pada pelayanan sosial berbasis agama, namun KH. Ahmad Dahlan juga menekankan pada penguatan akidah dengan membuat gerakan anti tahayul, bid’ah dan khurafat. Artinya, kegiatan ketarjihan atau aktivitas intelektual dalam menyelidiki ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya telah berkembang dalam Muhammadiyah sejak dari mula berdirinya organisasi ini. Jadi dengan ringkas dapat dikatakan bahwa Tarjih lahir bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah itu sendiri.
Ruslan menyebutkan beberapa ijtihad sebelum terbentuknya Majelis Tarjih, antara lain: penentuan arah kiblat; penggunaan hisab dalam menentukan awal bulan; menyelenggarakan salat id di lapangan terbuka; pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan Qurban, oleh panitia khusus, mewakili masyarakat Islam setempat; penyampaian khutbah dalam bahasa daerah yang awaklnya khutbah berbahasa Arab; dan lain-lain.
Sejarah Terbentuknya Majelis Tarjih
Majelis Tarjih lahir pada 1927 dalam Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan atas usulan KH Mas Mansur. Namun, pada hakikatnya kongres Pekalongan tahun 1927 itu bukan merupakan titik mula kegiatan tarjih dalam Muhammadiyah, melainkan hanya sebagai pelembagaan secara resmi terhadap yang sudah ada sebelumnya. Sebab dalam dekade-dekade awal perkembangan Muhammadiyah, tugas-tugas mempelajari masalah-masalah agama, mengeluarkan fatwa, dan melaksanakan program-program sosial dan pendidikan, semuanya dilakukan langsung oleh para pemimpin.
Majelis Tarjih sebagai lembaga yang mengurusi bidang keagamaan di Muhammadiyah, terbentuk melalui dua faktor yaitu internal dan eksternal. Wacana keagamaan masyarakat muslim Hindia-Belanda yang termasuk di dalamnya warga Muhammadiyah yang berminat pada fikih sehingga menghadirkan berbedaan pendapat antar-pimpinan Muhammadiyah menjadi faktor internal. Sedangkan hadirnya kolonialisme yang mendorong berkembangnya Zending-Misi, masih kuatnya kejawen, dan intensitas interaksi Ahmadiyah menjadi faktor eksternal.
“Masuknya ajaran Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada akhir perempat pertama abad 20. Perselisihan itu mengancam keutuhan Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majelis yang bertugas untuk mengkaji berbagai pendapat, untuk diambil yang paling kuat dalilnya, guna menjadi pegangan anggota Muhammadiyah, agar terhindar dari perpecahan,” tutur dosen Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini