MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Banyaknya regulasi maupun kebijakan untuk mengangkat derajat kelompok difabel yang dibuat oleh Pemerintah, pada implementasinya tidak berbanding lurus dengan penguatan derajat – kesejahteraan kelompok difabel. Oleh karena itu Muhammadiyah diharapkan untuk membersamai kelompok difabel.
Ketua Umum Himpunan Difabilitas Muhammadiyah, Fajri Hidayatullah pada (10/12) di acara Pengajian Umum PP Muhammadiyah menjelaskan bahwa sampai sekarang masih ada stigma yang menyebut keberadaan kelompok difabel sebagai kelompok manusia yang menyusahkan orang lain.
Terlebih dalam bidang pendidikan, terjadi diskiriminasi yang amat sangat jelas terhadap kelompok difabel. Diskriminasi sektor pendidikan terhadap kelompok difabel tidak memandang strata ekonomi, menurut Fajri difabel miskin maupun kaya terdampak akan hal ini.
Diksiriminasi sektor pendidikan itu terjadi lantaran fasilitas pendidikan yang inklusi pada kelompok difabel jumlahnya sedikit dan tidak merata. Dalam catatan Fajri, layanan pendidikan untuk kelompok difabel hanya terpusat di Ibu Kota maupun kota-kota besar, sedangkan di kota-kota kecil, terlebih di kawasan 3T nyaris tidak ada.
“Teman-teman sanat sulit mengaksesnya, apalagi yang di 3T, ini sangat mengkhawatirkan sekali,” ungkapnya.
Penyematan status mengkahwatirkan tersebut menurutnya tepat, sebab barometer atau ukuran kesejahteraan masyarakat salah satunya yang paling menonjol adalah sektor pendidikan. Masalah pendidikan ini merata dari semua tingkat pendidikan. Oleh karena itu, ia mengajak kepada semua untuk memiliki perhatian khusus terhadap masalah ini.
“Masih banyak paradigm maupun stigma bahwa kita itu adalah tidak berhak untuk menerima pendidikan. Inilah menjadi konsen kita bersama bahwa, Muhammadiyah, ‘Aisyiyah hadir sebagai penunjuk jalan kebenaran di Indonesia ini, tentu kita harus menyertai perjuangan ini bersama-sama”. Tuturnya.
Pengarus utamaan isu difabel di ranah publik adalah keniscayaan, sebab menurut Fajri, semua manusia memiliki potensi untuk menjadi difabel. Termasuk dalam tata kelola tenaga kerja, meski sudah ada regulasi yang mengatur, namun Fajri menyebut pada implementasinya masih kurang bahkan kebanyakan hanya seremonial belaka.
“Hanya seremonial belaka ketika memperingati bagaimana HDI (Hari Disabilitas Internasional) baru isu ini diangkat, ini yang menjadi suatu hal yang kita sayangkan. Padahal apa yang kita alami adalah sepanjang hari, sepanjang masa,” imbuhnya.
Akan tetapi Fajri bisa sedikit bernafas lega, sebab ada Muhammadiyah beserta Majelis, Lembaga, dan Ortom (MLO) nya yang senantiasa membersamai perjuangan pemenuhan hak-hak kelompok difabel. Dukungan ini amat penting bagi mereka, sebab mereka memerlukan ruang untuk berekspresi.
“Telah memfasilitasi kami dengan berdirinya Himpunan Difabel Muhammadiyah. Ini menjadi tonggak bagaimana kita memperjuangan adanya kita di Indonesia ini,” imbuhnya.
Selain masalah di sektor pendidikan dan ketenagakerjaan, masalah lain yang terus membayangi kelompok difabel adalah transportasi publik, pelayanan kesehatan, dan pelayanan publik. Oleh karena itu dirinya bersama Muhammadiyah dan MLO nya sedang giat melakukan advokasi untuk pemenuhan hak-hak difabel di Indonesia.