MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Jumat, 3 September 2021 puluhan orang yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Umat Islam menggeruduk masjid dan pemukiman jemaat Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Akibat aksi tersebut, masjid Ahmadiyah kena imbas. Masjid rusak parah dan rumah seorang warga terbakar. Meski tak ada korban jiwa, 72 jemaat terpaksa dievakuasi oleh aparat keamanan gabungan. Hari ini, Kamis (9/9) Polda Sintang mengonfirmasi telah menangkap dan menetapkan 22 tersangka.
Hampir setiap tahun, kasus yang sama selalu terjadi. Setara Institute pada 6 April 2021 merilis riset mutakhir bahwa pada 2020 saja, sedikitnya telah terjadi 62 kasus serangan terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) oleh aktor non-negara.
Fakta-fakta ini sejatinya menggugah kesadaran kita apakah benar kesan yang selama ini melekat kepada bangsa Indonesia sebagai bangsa yang toleran, ramah dan hidup rukun dalam perbedaan adalah kesan yang hakiki atau kesan yang semu.
Kasus intoleransi tidak bisa dipandang sederhana sebagai satu pandangan keagamaan sempit tanpa melibatkan berbagai faktor non keagamaan seperti kesenjangan ekonomi, kepentingan politik, dan konflik sosial-budaya.
Dalam forum diskusi daring Kajian Titik-Temu Nurcholis Madjid Society, Selasa (7/9) Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkap sekian faktor yang menjadi akar masalah mengapa kasus intoleransi di Indonesia seperti sebuah siklus, berulang setiap tahun.
Regulasi Intoleran Legimasi Kekerasan
Bagi Abdul Mu’ti, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 atau yang dikenal sebagai SKB 2 Menteri dianggap perlu ditinjau ulang atau disempurnakan.
Sebab, selain bertentangan dengan Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945, tidak adanya detil tambahan membuat SKB ini kerap digunakan alat berdalih untuk menutupi akar masalah intoleransi yang sebenarnya.
“Memang sebagiannya bermuara pada regulasi yang kadang-kadang dimaknai sangat tekstual dan bahkan kadang regulasi itu menjadi salah satu cara bukannya untuk memberikan kemudahan bagi pemeluk agama lain, tetapi regulasi itu justru menjadi hambatan bagi pemeluk agama lain atau mereka yang berkeyakinan berbeda dalam kaitannya terutama dengan pendirian tempat ibadah,” kata Mu’ti.
Di sisi lain, SKB 2 Menteri juga dianggap Mu’ti melahirkan berbagai klaster keagamaan yang potensial untuk menjadi permasalahan khusus di masa depan.
Tidak hanya kelompok agama minoritas, Muhammadiyah pun menurutnya beberapa kali menjadi korban atas regulasi ini. Di beberapa daerah seperti Bireun hingga Banyuwangi, SKB 2 Menteri dijadikan tameng untuk menolak pendirian masjid Muhammadiyah.
Demokrasi Tersandera Populisme
Abdul Mu’ti juga menilai bahwa tren demokrasi yang bergerak ke arah populis terutama jelang pemilu di Indonesia, menstimulasi sentimen identitas kelompok baik agama atau golongan tertentu sebagai komoditas kampanye oleh calon pemimpin daerah.
“Dalam konteks ini saya beberapa kali membuat catatan selama sistem politiknya masih bias konsep mayoritas-minoritas, dan pemilihan langsung ini tidak kemudian diimbangi dengan membangun kultur demokrasi, maka memang tidak akan ada atau mungkin kecil sekali partai politik atau pimpinan di tingkat daerah bahkan di tingkat pusat itu yang memberikan dukungan dan jaminan kepada kelompok minoritas karena suaranya kecil. Dia akan cenderung pada kelompok yang suaranya besar,” ungkapnya.
Abdul Mu’ti pun mengaku tidak terkejut jika kasus intoleransi di berbagai daerah muncul lalu semata-mata menyederhanakan masalah hanya terkait masalah SKB.
“Jadi alasan-alasan sudah dibuat kesepakatan sejak lama lalu dilanggar (oleh minoritas) itu hanya rasionalisasi untuk tidak menerima pihak lain,” kritik Mu’ti.
Kekuatan Masyarakat Sipil Kian Lemah
Lebih lanjut, Abdul Mu’ti menyoroti lemahnya peran organisasi masyarakat sipil (civil society) dalam menggagas toleransi yang otentik di lapangan.
Aksi toleransi menurutnya masih berkisar di tataran saling mengucapkan hari besar keagamaan tanpa ada aksi bersama yang membuka ruang untuk saling mengenal, saling bersama dan menghargai perbedaan yang ada.
“Jadi penerimaan itu sesungguhnya sikap yang jauh lebih penting jika dibandingkan dengan sikap mengucapkan selamat yang kadang-kadang juga masih ada pihak yang tidak mau melakukan. Sehingga atau penerimaan, itu melampaui toleransi,” kata Mu’ti.
“Saya kira memang sekarang kita melihat bahwa masyarakat sipil di Indonesia ini sepertinya memang mengalami pergerseran dan dalam beberapa hal memang Civil Society itu tidak cukup keras menyuarakan berbagai gagasan yang berkaitan dengan civility atau keadaban di ruang publik,” tegasnya.
Sikap Moderat Beragama Kian Penting
Khusus untuk kasus Ahmadiyah, Abdul Mu’ti menilai kekerasan di Sintang itu adalah bukti dari kurangnya pengenalan ajaran Islam yang moderat.
“Ahmadiyah, entah diklaim ‘bukan bagian dari umat Islam’ atau diakui sebagai ‘bagian dari umat Islam,’ dalam konteks Islam tidak diperbolehkan menjadi sasaran dari tindakan kekerasan. Kalau kita membaca ayat-ayat al-Quran, jangankan merusak tempat ibadah orang lain, menghina tuhan pemeluk agama lain itu juga dilarang oleh al-Quran,” tuturnya.
“Jadi, Islam memberikan penghormatan kepada agama lain, sehingga makna lakum dinukum waliyadin lebih dari itu,” imbuhnya.
“Apapun alasannya, merusak bangunan tempat agama itu adalah sesuatu yang tidak dibenarkan dalam hukum apalagi dalam konteks ajaran agama Islam,” kata Mu’ti.
Jalan Keluar
Abdul Mu’ti juga menilai bahwa jalan keluar dari kasus agama yang selalu ditempuh melalui jalur hukum daripada musyawarah adalah tindakan yang kurang tepat untuk kondisi sosiokultural di Indonesia.
“Menyelesaikan secara hukum itu benar dalam konteks negara hukum tetapi tidak sehat dalam rangka membangun kerukunan antar umat beragama. Jadi yang perlu dilakukan pertama adalah membangun kohesi sosial yang lebih baik dengan sikap dan pandangan sosial dan keagamaan yang lebih terbuka. Karena itu, menurut saya toleransi saja tidak cukup. Menurut saya kita harus beyond tolerance,” tuturnya.
Sekuat apapun negara menegakkan hukum, bagi Mu’ti tidak akan efektif selama paradigma keberagaman belum berubah lebih baik.
“Banyak kasus yang kemudian berkaitan dengan masalah agama diselesaikan di pengadilan itu ujung-ujungnya tidak memberikan solusi yang berjangka panjang. Dan kadang-kadang ada beberapa kasus yang penyelesaiannya bisa dinegosiasi,” kritiknya.
Ruang Perjumpaan Penunjang Toleransi
Terakhir, Abdul Mu’ti menilai salah satu penyebab minimnya toleransi disebabkan karena pemerintah kurang menyediakan ruang perjumpaan yang menjadi titik untuk saling mengenal.
Akibatnya, masing-masing pemeluk agama segan untuk berinteraksi dan saling bertanya secara jujur terkait perbedaan di antara mereka.
“Kalau ruang perjumpaan ini diperbanyak, kemudian berbagai sarana-sarana perjumpaan itu juga difasilitasi, maka saya kira berbagai kesalahpahaman itu bisa kita kurangi walaupun memang seluruhnya tidak bisa dilakukan,” pungkasnya.
Naskah: Affandi