MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Masalah korupsi di Indonesia sudah berakar kian dalam sehingga tidak bisa diatasi dengan cara-cara biasa, tetapi harus menggunakan pendekatan radikal.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan Indonesia layak menerapkan hukuman mati bagi tersangka korupsi dan memberikan definisi baru di dalam Undang-Undang bahwa korupsi adalah perbuatan yang sejajar dengan terorisme.
“Perlu ada definisi bahwa korupsi itu adalah extra ordinary crime, kejahatan yang luar biasa yang itu bisa menimbulkan akibat yang juga sangat masif dan indiskriminatif, bisa kena semuanya,” ujar Abdul Mu’ti dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jumat (11/12).
Tidak hanya disebabkan oleh masalah struktural di sistem pemerintahan dan politik, korupsi di Indonesia tumbuh subur juga dikarenakan masalah penegakan hukum yang tumpul dan sifat masyarakat sendiri yang kebanyakan masih permisif melakukan tindakan tidak jujur.
“Sekarang kita buktikan apakah benar hakim-hakim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) itu berani menjatuhkan hukuman mati kepada sang menteri?” sangsi Abdul Mu’ti menyitir kasus terbaru korupsi 17 miliar bantuan sosial.
“Karena itu ini menjadi persoalan legal yang kalau tidak berani kita melakukan upaya-upaya penegakan itu ya memang tidak akan bisa menimbulkan efek jera sama sekali,” imbuhnya.
Karena itu, kerja keras melawan korupsi tidak hanya dilakukan di aspek hukum, tapi juga diperlukan melalui hal kecil dari diri sendiri seperti kesadaran untuk selalu bersikap jujur.
Terapkan Asas Pembuktian Terbalik
Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah sejak lama telah menaruh perhatian besar melakukan dakwah kultural membangun kesadaran masyarakat, termasuk seperti meluncurkan buku Fikih Anti Korupsi bersama Nahdlatul Ulama pada tahun 2006.
Menjadi solusi efektif, Abdul Mu’ti berharap pemerintah mulai menggunakan Asas Pembuktian Terbalik secara tidak terbatas bagi para pejabat negara.
Asas Pembuktian Terbalik (Reversal Burden of Proof, Pembalikan Beban Pembuktian) adalah asas yang mencurigai setiap pejabat publik sehingga mereka wajib menjelaskan semua asal usul aset kekayaannya meski tidak tersangkut tindak pidana korupsi.
Di Indonesia sendiri, Asas Pembuktian Terbalik terangkum dalam UU No. 20 Tahun 2000 tentang Tipikor namun hanya bersifat terbatas.
“Berulangkali misalnya PP Muhammadiyah dalam berbagai forum mengusulkan perlu pembuktian terbalik yang banyak dilakukan banyak negara yang memiliki banyak kasus korupsi merajalela, tapi dengan Pembuktian Terbalik ini bisa memperbaiki keadaan dan bisa relatif mengurangi secara signifikan korupsi di negaranya,” saran Abdul Mu’ti.
Hits: 5