MUHAMMADIYAH.ID, BANTUL – Muslim yang baik, adalah muslim yang menjamin keamanan orang lain dari potensi bahaya lisan dan tangannya. Demikian bunyi salah satu hadis Nabi Muhammad Saw.
Ciri tersebut, nampaknya tidak berlaku bagi para pendengung (buzzer) di media sosial. Cara-cara provokatif dan ad hominem, seringkali dipakai serempak oleh para buzzer untuk menghantam pihak yang tak sependapat.
“Sekarang dipakai, satu ekspresi dan gerakan yang diorganisasi oleh kekuatan tertentu untuk menyerang satu kelompok. Yang dalam bahasa (Franklin) Foer itu ada gejala orang menyerang orang lain yang tidak sepaham dengan dia. Dan penyerangan itu diorganisasi dengan kekuatan internet dan orang yang menyebutnya sebagai kekuatan algoritma,” terang Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam forum Silaturahim Syawalan Keluarga Besar Muhammadiyah Kabupaten Bantul, Sabtu (5/6).
Abdul Mu’ti lantas mengisahkan pengalamannya kala diserang oleh buzzer terkait kritikannya pada pemerintah mengenai inkonsistensi kebijakan pelarangan mudik dengan pelonggaran masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Tiongkok.
Kritikannya yang dikemas secara satire menurut Mu’ti telah proporsional sebab Muhammadiyah yang telah berjuang keras membantu pemerintah menangani Covid-19 sejak awal merasa dirugikan dengan inkonsistensi kebijakan tersebut.
“Sehingga saya mulai bersuara, mulai terusiklah. Kita ini sudah berusaha sedemikian rupa supaya mobilitas ini bisa dibatasi, ini kok ada orang dari luar negeri datang berbondong-bondong dan seakan tidak ada masalah. Makanya kemudian di akun IG, Twitter dan FB itu saya membuat ungkapan satire,” jelas Mu’ti.
“Rupanya pernyataan saya itu tidak happy. Saya diserang buzzer luar biasa, tapi bagi saya itu bukan sesuatu yang menjadi masalah. Buat saya, maa fii musykilah, saya tetap tenang-tenang saja. Bahkan kemudian setelah pernyataan saya itu beberapa pejabat mulai melakukan resonansi dari apa yang telah saya lakukan,” imbuhnya.
Fenomena buzzer seperti ini menurut Mu’ti adalah fenomena buruk yang berpotensi memecah belah persatuan di antara sesama warga bangsa.
Dukungan teknologi jika tidak diimbangi dengan kematangan diri menurutnya turut mempopulerkan suburnya provokasi dan kebencian.
“(Franklin) Foer itu menulis A World Without Brain (*World Without Mind, koreksi). Ternyata manusia tidak semakin beradab, justru terlihat tidak semakin cerdas. Manusia yang tidak cerdas itu adalah yang merasa dirinya paling mengerti, death of expertise,” jelasnya.
“Di mana manusia merasa dirinya egaliter, dan merasa dirinya berilmu tapi sesungguhnya mereka tidak benar-benar orang yang berilmu. Dan beberapa hal yang terjadi sekarang ini adalah dunia di mana dunia sekarang itu terkoneksi dengan cepat, tapi hati-hati mereka tidak terkoneksi satu sama lain. Alquran menyebut tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta,” ujar Mu’ti menyitir Al Hasyr ayat 13.