MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Upaya pemerintah menangani pandemi, tidak selalu berjalan mulus. Selain faktor internal terkait kebijakan yang inkonsisten, tantangan penanganan pandemi juga muncul dari faktor eksternal yang gigih bersikap oposan terhadap setiap kebijakan pemerintah.
Dalam diskusi Moderasi Beragama di kanal Convey Indonesia, Jumat (23/7) Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menilai faktor eksternal itu muncul sebagai kelanjutan dari ketegangan politik sebelum pandemi.
“Ada ketidakpercayaan kepada pemerintah. Dari sikap itu ada sikap perlawanan dan saya kira kelanjutan dari perdebatan politik sebelum Covid. Misalnya pemerintahan sekarang Komunis, sekuler, anti Islam,” jelas Mu’ti.
“Itu masih ada dalam residu umat dan mendapatkan momentum untuk dihidupkan kembali dengan berbagai argumen. Misalnya ke masjid gak boleh tapi mall dibuka. Mudik tidak boleh tapi tempat wisata dibuka. Nah, argumen-argumen itu memang sering muncul sebagai sebuah argumen politik daripada argumen keagamaan,” terangnya.
Pengabaian Tidak Melulu Karena Konservatifme Beragama
Selain karena sikap oposan dan pandangan keagamaan yang kolot, pengabaian terhadap aturan penanganan pandemi di sebagian masyarakat menurut Mu’ti muncul karena faktor ekonomi.
Masyarakat dengan penghasilan harian terpaksa melanggar aturan dikarenakan tidak memiliki tabungan. Sementara itu negara yang seharusnya menjamin kehidupan mereka juga tidak menunaikan kewajibannya, meskipun status pandemi telah ditetapkan sebagai bencana nasional.
“Mereka yang tidak punya tabungan dan income bulanan, yang memang pendapatan mereka diperoleh dari pekerjaan harian, maka tidak mudah meyakinkan mereka. Saya kadang mendengar masyarakat mau (mentaati aturan) tapi (mereka bertanya) yang ngasih makan saya siapa,” jelas Mu’ti mencontohkan perdebatan karantina wilayah.
Termasuk dalam konteks tersebut adalah masyarakat ekonomi bawah yang tidak memiliki fasilitas layak untuk melaksanakan aturan pandemi selama di rumah petaknya.
“Nah realitas ini kadang tidak kita bayangkan bagaimana beragamnya masyarakat kita itu sehingga memang pendekatan salat di rumah saja, berjamaah di rumah tidak selalu bisa diterima ketika kita melihat realitas. Nah di sinilah sebagian masyarakat menjadi sangat pragmatis dengan resiko tetap pergi ke masjid,” kata Mu’ti.
“Mereka tidak konservatif, mereka tidak skripturalistik, tidak anti pemerintah, tapi mereka tidak bisa memenuhi himabauan itu karena tidak ada fasilitas. Nah ini yang juga harus dilihat sehingga bagaimana kita bisa memberikan solusi bahwa masyarakat kita memiliki beragam keadaan yang harus menjadi perhatian dari kebijakan dan pikiran-pikiran ke depan ketika masalah-masalah ini terjadi,” pungkasnya.
Hits: 11